Peneliti bidang Teknologi Radio dan Optik, di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI, Yusuf Nur Wijayanto menyatakan sinar Ultraviolet-C (UV-C) hanya berperan untuk melemahkan virus terkait dengan kebijakan Kemenhub untuk menggunakan sinar UV-C di bus.
Dia menyebut peluang melemahkan virus itu jika sinar UV-C dipancarkan dengan dosis yang tepat.
"Sinar UV-C dapat melemahkan mikroorganisme termasuk bakteri, germ, virus bisa sampai 99 persen," ujar Yusuf kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/6).
Yusuf menuturkan belum ada secara eksperimen mengenai efek sinar UV-C terhadap virus corona SARS-CoV-2 (Covid-19). Namun, dia menyampaikan beberapa bakteri dan virus sebelumnya, misalkan SARS hingga MERS melemah 99 persen setelah menerima pancaran sinar UV-C.
"Tetapi bisa diprediksikan (SARS-CoV-2) bisa menjadi lemah juga tentu dengan dosis pancaran UV-C yang berbeda dari masing masing virusnya," ujarnya.
Terkait dengan kerja sinar UV-C, Taufik membeberkan dilakukan dengan memancarkannya pada suatu permuakaan benda yang ingin disterilisasikan selama beberapa waktu. Langkah itu dilakukan untuk memenuhi besar dosis yang minimal untuk melemahkan target virus.
Secara ilmiah, dia menyampaikan panjang gelombang UV-C yang digunakan mendekati dengan besar dari mikroorganisme yang ingin dilemahkan.
"Sehingga sinar UV-C dapat digunakan untuk melemahkan virus dipermukaan suatu benda yang terkena pancarannya sesuai dosisnya," ujar Yusuf.
Lebih lanjut, Taufik menjelaskan ada tiga jenis sinar UV, yakni A, B, dan C. Menurut BMKG, tiga jenis radiasi ultraviolet ini dibedakan berdasarkan panjang gelombang. Sehingga, tiap tipe memiliki tingkat energi dan daya tembus lapisan atmosfer yang berbeda.
Dia menyebut, sekitar 90-95 persen radiasi UV tipe A dengan tingkat energi paling rendah dapat menembus lapisan permukaan atmosfer. Sedangkan 5-10 persen radiasi UV tipe B yang bisa mencapai permukaan. Sementara UV-C punya tingkat radiasi paling tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Khusus untuk UV-A dan UV-B, Taufik menyebut masih memiliki manfaat untuk kehidupan manusia, misalnya untuk menyehatkan kulit hingga pembentukan vitamin D.
Paparan UV-C ke kulit manusia menurut Yusuf berbahaya dan tidak memiliki manfaat bagi manusia.
"Jika UV-C terkena oleh manusia maka bisa mengakibatkan kanker kulit dan merusak mata jika sering terpapar. Karena makhluk hidup termasuk manusia terdiri dari sel sel kecil yang ada di dalam tubuh. Jadi UV-C mempunyai sifat merusak untuk kehidupan," ujarnya.
Di alam, sinar UV-C yang dipancarkan Matahari tak sampai ke Bumi. Sebab, sinar ini diserap oleh lapisan ozon yang melindungi kehidupan manusia. Namun, di daerah yang ozonnya terkikis sinar ini bisa sampai ke permukaan Bumi, seperti di kutub misalnya.
Atas penjelasan itu, Yusuf menyarankan peasangan lampu sinar UV-C di transportasi umum harus berdasarkan kajian. Misalnya, dia mengatakan sinar UV-C digunakan ketika tidak ada penumpang di dalam transportasi umum.
"Gunakan atau aktifkan lampu UV-C ketika kendaraan tanpa penumpang, sopir, atau manusia yang akan dipakai. Misalnya saat keluar pool atau terminal awal selama beberapa waktu. Jadi, dengan begitu masih bisa memungkinkan digunakan proses usaha menghambat penyebaran Covid dengan cara melemahkannya menggunakan UV-C," ujarnya.
Lebih dari itu, dia kembali menegaskan penggunaan lampu UV-C aman jika mengikuti prosedur yang berlaku.
"Khususnya jangan dipaparkan langsung ke manusia berbahaya bagi kesehatan kulit dan mata," ujar Yusuf.
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menjelaskan pemasangan lampu sinar ultraviolet (UV) pada transportasi umum darat semasa new normal bukan sekadar wacana atau imbauan. Kemenhub menyatakan sedang mengkaji membuat regulasi yang mengatur tentang hal itu.
Direktur Angkutan Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Ahmad Yani mengatakan pihaknya masih berunding soal standarisasi dan biaya yang akan dikeluarkan untuk pemasangan lampu sinar UV pada satu kendaraan umum.