Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono meminta agar pemerintah menghentikan rapid test yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan atau pendeteksian awal kasus Covid-19.
Pandu mengatakan ia tidak setuju jika rapid test dijadikan untuk pemeriksaan awal (screening) Covid-19. Baginya rapid test yang yang berlandaskan antibodi untuk digunakan sebagai survei serologi, bukan untuk pendeteksian awal.
"Saya tidak setuju penggunaan test antibodi untuk screening. Test antibodi itu untuk survei serologi," kata Pandu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (23/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Pandu tidak memberikan keterangan lebih lanjut ketika ditanya alasan ia tak menyarankan penggunaan rapid test tersebut.
Lewat akun Twitter, sebelumnya Pandu mengomentari unggahan Gugus Tugas Covi-19 yang berisi poster terkait rapid test sebagai metode potensi penyebaran Covid-19.
Pandu mengatakan informasi ini tidak didukung oleh Ahli Epidemiologi karena hasil rapid test tidak akurat. Tes ini hanya mendeteksi antibodi yang lambat terbentuk. Pandu mengatakan dibutuhkan tes lymerase Chain Reaction (PCR) untuk pendeteksian ini kasus Covid-19.
Jadi apabila antibodi belum terbentuk ketika orang terjangkit Covid-19, hasil rapid test akan mengeluarkan hasil negatif. Oleh karena itu, Pandu mengatakan rapid test tidak cocok dengan tujuan pendeteksian awal untuk mendeteksi sedini mungkin penularan.
Dihubungi terpisah, Ahli Epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan rapid test pada umumnya adalah tes antibodi yang belum memiliki akurasi yang tepat dan ideal. Sebab tes ini hanya mendeteksi bahwa seseorang pernah terinfeksi Covid-19.
"Sehingga akan memerlukan test Real Time PCR (RT PCR) untuk memastikannya lagi. Hal ini tentu menjadi tidak efektif dan efisien, selain juga kita akan kehilangan waktu berharga untuk reaksi cepat intervensi testing dan isolasi," kata Dicky
Dicky mengatakan program tes RT-PCR ini idealnya harus tersedia di seluruh wilayah, mudah diakses publik, efisien, gratis atau berbiaya sangat minimal.
Lihat juga:Kota Madiun Zona Hijau Pertama di Jawa Timur |
Ia mengatakan rapid test anti bodi memiliki tingkat akurasi yang rendah dan bisa menyebabkan false positive maupun false negativeDicky juga mengatakan tes swab atau PCR merupakan standar teratas (gold standard) untuk mendeteksi kasus corona (Covid-19).
Dicky mengatakan hasil rapid test banyak false negative dan false positive.
Potensi hasil false negative (hasil negatif padahal sebetulnya pasien terinfeksi) dan potensi false positive (hasil positif padahal orang tersebut tidak terinfeksi) dapat mengganggu program pengendalian pandemi
"False negative sangat berbahaya karena membuat penderita tidak terdeteksi dan tetap menularkan. Akibat lainnya penderita yang tidak terdeteksi tersebut bisa telat mendapat perawatan," ujar Dicky.
Pada kesempatan berbeda, Lembaga Bio Molekuler (LBM) Eijkman sempat menjelaskan kalau tes massal PCR lebih akurat untuk mendeteksi virus corona SARS-CoV-2 daripada metode rapid test antibodi.
"Untuk mengetahui apakah seseorang terinfeksi dan mengandung virus, maka yang paling akurat adalah tes secara molekuler dengan PCR," ujar Wakil Kepala Bidang Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler Eijkma, Herawati Sudoyo saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (26/3).
Herawati menjelaskan rapid test adalah tes berlandaskan antibodi atau biasa disebut uji serologi. Tes ini hanya menggambarkan apakah orang pernah terpapar virus corona. Bukan mendeteksi orang terinfeksi corona atau tidak.
Di sisi lain, Hera mengatakan metode rapid test cocok diterapkan untuk contact tracing. Jenis tracing ini ditujukan untuk memberikan informasi kepada publik yang berpotensi melakukan kontak langsung dengan pasien.
"Tes antibodi massal hanya mengetahui "pernah kontak" dengan virus. Cocok untuk 'contact tracing'," ujar Hera.
(jnp/eks)