Epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman menyatakan tes antibodi Covid-19 bertujuan untuk melihat apakah seseorang pernah terinfeksi virus corona sebelumnya. Dia mengatakan tes antibodi tidak bisa menjadi alat diagnostik infeksi virus corona.
"Harus dipahami bahwa rapid tes antibodi memang dimaksudkan untuk melihat apakah seseorang pernah terinfeksi virus corona sebelumnya. Sehingga tes antibodi tidak bisa digunakan untuk menjadi alat diagnostik infeksi virus corona," ujar Dicky kepada CNNIndonesia.com, Senin (24/8).
Meski demikian, Dicky menilai tes antibodi untuk tujuan surveilans atau studi epidemiologi di Indonesia masih tetap bermanfaat. Dia tidak sepakat jika tes antibodi digunakan untuk te diagnostik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena untuk tes diagnostik atau melihat apakah seseorang sedang terinfeksi dilakukan dengan RT-PCR, RT-LAMP, atau rapid tes antigen," ujarnya.
Lebih lanjut, Dicky menuturkan laporan media atau ilmuwan asing mengenai kegunaan tes antibodi masih belum lengkap. Sehingga, dia menilai hal itu menimbulkan perbedaan makna atau salah pemahaman.
Dicky menyebut yang menjadi topik diskusi ilmiah saat ini adalah adanya temuan ilmiah yang memperlihatkan bahwa antibodi yang timbul pada pasien yang pulih dari infeksi Covid-19 umumnya bertahan di antara 2 sampai 3 bulan.
Sehingga, lanjut dia ada potensi tes antibodi tidak dapat mendeteksi apakah seseorang pernah terinfeksi sebelumnya, terutama saat orang tersebut sudah memasuki bulan ke 4 usai pulih.
"Ingat bahwa kita saat ini sudah memasuki bulan ke 8 dari pandemi," ujar Dicky.
Terkait dengan hal itu, Dicky menyarankan Indonesia fokus pada deteksi dini penderita Covid-19 dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas tes RT-PCR. Penggunaan rapid tes antibodi hanya efektif untuk survei pada populasi yang besar dengan kawalan pendekatan epidemiologi yang tepat.
"Karena banyak tes antibodi tidak akurat, beberapa malah mendeteksi antibodi yang salah, dan bahkan antibodi yang tepat pun akan hilang setelah lebih dari 3 bulan," ujar Dicky.
Sebelumnya, Organisasi Penyakit Menular Baru Amerika Serikat (IDSA) menentang penggunaan rapid test antibodi sebagai bahan rujukan seseorang terinfeksi virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
Tes antibodi ini kerap digunakan untuk pengujian cepat atau rapid test dengan mengambil sampel dari darah pasien. Darah pasien diambil untuk mengecek apakah ada antibodi yang muncul akibat perlawanan tubuh terhadap virus corona SARS-CoV-2. Nama lain tes antibodi adalah pengujian serologi.
Selain itu, IDSA juga tidak merekomendasikan penggunaan tes ini untuk menguji seseorang yang mendapat terlihat bergejala Covid-19 dalam 14 hari. Uji ini bisa digunakan setelah tiga hingga empat minggu setelah gejala muncul.
Organisasi tersebut menemukan bahwa pengujian antibodi tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan untuk menghentikan jarak fisik atau mengurangi penggunaan alat pelindung diri.
Sehingga, tidak disarankan menggunakan rapid test sebagai dasar pengambilan kebijakan untuk pelonggaran pembatasan aktivitas seperti pemberlakuan PSBB, misalnya.
Selain itu, tes ini juga tak bisa digunakan sebagai paspor kekebalan (immunity passport). Ini adalah sertifikasi yang menunjukkan kalau seseorang memiliki kekebalan atas Covid-19.
Sebab, jika rapid test tidak cukup akurat untuk menentukan apakah seseorang benar-benar terinfeksi Covid-19, maka dokumen ini juga tak bisa digunakan sebagai validasi kelayakan seseorang bisa bepergian atau tidak.
Alasannya, seiring waktu keberadaan antibodi dalam darah bisa berkurang dan menghilang seluruhnya dalam waktu tiga bulan. Meski antibodi menghilang, namun hal in tidak menghilangkan imunitas seseorang terhadap virus corona.
Sebab, T-cell tetap memiliki memori dari virus corona SARS-CoV-2 yang bisa digunakan untuk kembali memproduksi antibodi.