Organisasi Penyakit Menular Baru Amerika Serikat (IDSA) menentang penggunaan rapid test antibodi sebagai bahan rujukan seseorang terinfeksi virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
Tes antibodi ini kerap digunakan untuk pengujian cepat atau rapid test dengan mengambil sampel dari darah pasien. Darah pasien diambil untuk mengecek apakah ada antibodi yang muncul akibat perlawanan tubuh terhadap virus corona SARS-CoV-2. Nama lain tes antibodi adalah pengujian serologi.
Selain itu, IDSA juga tidak merekomendasikan penggunaan tes ini untuk menguji seseorang yang mendapat terlihat bergejala Covid-19 dalam 14 hari. Uji ini bisa digunakan setelah tiga hingga empat minggu setelah gejala muncul.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
IDSA juga tidak merekomendasikan tes ini untuk mendeteksi bukti kalau seseorang pernah terinfeksi Covid-19. Sebab, tes antibodi atau rapid test tidak berguna mendeteksi imunitas seseorang atau risiko infeksi ulang terhadap seseorang.
Organisasi tersebut menemukan bahwa pengujian antibodi tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk menentukan kebjijakan untuk menghentikan jarak fisik atau mengurangi penggunaan alat pelindung diri.
Sehingga, tidak disarankan menggunakan rapid test sebagai dasar pengambilan kebijakan untuk pelonggaran pembatasan aktivitas seperti pemberlakuan PSBB, misalnya.
Selain itu, tes ini juga tak bisa digunakan sebagai paspor kekebalan (immunity passport). Ini adalah sertifikasi yang menunjukkan kalau seseorang memiliki kekebalan atas Covid-19.
Sebab, jika rapid test tidak cukup akurat untuk menentukan apakah seseorang benar-benar terinfeksi Covid-19, maka dokumen ini juga tak bisa digunakan sebagai validasi kelayakan seseorang bisa bepergian atau tidak.
Alasannya, seiring waktu keberadaan antibodi dalam darah bisa berkurang dan menghilang seluruhnya dalam waktu tiga bulan. Meski antibodi menghilang, namun hal in tidak menghilangkan imunitas seseorang terhadap virus corona.
Sebab, T-cell tetap memiliki memori dari virus corona SARS-CoV-2 yang bisa digunakan untuk kembali memproduksi antibodi.
Meski demikian, para peneliti pun masih berspekulasi mengenai hal ini. Sebab, di beberapa tempat orang yang sudah pernah terinfeksi Covid-19, masih bisa kembali positif kemudian.
Studi juga menunjukkan bahwa tes antibodi bisa memberikan diagnosis kalau seseorang tidak terinfeksi corona, meski sebelumnya ia sempat terpapar (false-negative/ hasil negatif palsu).
Dalam laman resmi, IDSA menyampaikan kinerja uji serologi sangat bervariasi. Estimasi sensitivitas gabungan untuk IgM pada minggu kedua setelah onset gejala adalah 73 persen.
IDSA juga menyoroti bagaimana tes serologi ini dikembangkan sangat cepat akibat pandemi.
"Banyak tes serologi berbeda untuk SARS-CoV-2 telah tersedia secara komersial dalam waktu singkat. Kecepatan pengembangan yang luar biasa telah secara signifikan melampaui penilaian kinerja pengujian yang ketat," tulis IDSA dalam laporannya.
![]() |
Meski demikian, IDSA mengatakan bahwa tes antibodi memiliki beberapa kegunaan. Tes antobodi dapat mendeteksi pasien yang baru saja terinfeksi, tetapi mungkin melewatkan pasien lain.
IDSA mengatakan ada dua skenario klinis di mana pengujian antibodi memiliki kegunaan potensial. Salah satunya melibatkan pasien individu dengan kecurigaan klinis yang tinggi untuk Covid-19 yang terus dites negatif atau yang tidak memiliki akses ke tes PCR.
Tetapi skenario itu mungkin juga tidak selalu memberikan hasil yang akurat. Dalam penelitian IDSA mencatat akan ada masalah dengan tes antibodi yang dapat menghalangi skenario itu.
"Secara umum, tes IgM cenderung memiliki sensitivitas yang lebih rendah untuk mendeteksi infeksi masa lalu daripada tes IgG atau tes antibodi total" kata para peneliti, seperti dikutip BGR.
IgM dan IgG adalah jenis imunoglobulin berbentuk Y atau antibodi. Antibodi IgM muncul belakangan pada Covid-19 dibandingkan dengan virus lain. Sedangkan antibodi IgG dapat dideteksi dua minggu setelah infeksi.
Makalah ini juga mencatat bahwa sensitivitas dan spesifisitas IgG dan jumlah antibodi total optimal tiga sampai empat minggu setelah timbulnya gejala. Sehingga, orang yang dicurigai terinfeksi mungkin sudah terbebas dari virus pada saat tes antibodi.
Dengan demikian, mengandalkan IgM untuk diagnosis COVID-19 dalam dua minggu akan kehilangan 108 kasus sebenarnya dari 1000 pasien ketika kecurigaan klinis terhadap infeksi tinggi. Sensitivitas golongan imunoglobulin lain sama buruknya pada awal setelah infeksi.
Meskipun tes ini memiliki nilai yang terbatas untuk mendiagnosis infeksi akut, serologi melengkapi pengujian molekuler untuk individu yang muncul kemudian dalam perjalanan penyakit.
(jps/eks)