Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan telah melakukan uji klinis kandidat imunomodulator yang berasal dari tanaman herbal asli Indonesia untuk pasien virus corona Covid-19 di Rumah Sakit Darurat Corona (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Laksana Tri Handoko mengatakan data uji klinis tengah diverifikasi untuk memastikan akurasinya dan kemudian dikirimkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku regulator.
"Uji klinis imunomodulator dengan bahan asli dari keanekaragaman hayati Indonesia merupakan yang pertama yang dilakukan secara independen serta melibatkan banyak pihak untuk memastikan obyektifitas dan akurasinya terjaga," ujar Laksana dalam laman resmi LIPI, Selasa (18/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laksana menyampaikan dua produk yang diuji klinis adalah Cordyceps militaris dan kombinasi ekstrak herbal yang terdiri dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale var Rubrum), daun meniran (Phyllanthus niruri), sambiloto (Andrographis paniculata), dan daun sembung (Blumea balsamifera).
Laksana berkata dua produk imunomodulator itu bisa menjadi bisa menjadi fitofarmaka jika terbukti dan dinyatakan BPOM berkhasiat berdasarkan analisis terhadap data hasil uji klinis dan penelitian.
"Jika menjadi fitofarmaka, maka produk imunomodulator itu dapat diproduksi massal dan diresepkan oleh dokter untuk dipakai dalam penanganan pasien. Tentunya dengan harga relatif jauh lebih murah karena formula dan bahan baku lokal," ujarnya.
Koordinator Kegiatan Uji Klinis Kandidat Imunomodulator Herbal untuk Penanganan COVID-19, Masteria Yunovilsa Putra menuturkan uji klinis melibatkan 90 subyek penelitian dengan rentang usia 18 hingga 50 tahun yang diberikan intervensi selama 14 hari.
Kriteria subyek penelitian, kata Masteria adalah pasien positif Covid-19 baru yang telah dikonfirmasi melalui Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dan memiliki gejala pneumonia ringan.
"Subyek juga tidak hamil atau menderita penyakit lain seperti DBD, demam tifus, gangguan jantung, gangguan ginjal, maupun memiliki alergi terhadap produk yang diujikan," ujar Masteria.
Lihat juga:Ristek BRIN Sebut Syarat Klaim Penemuan Obat |
Masteria menyampaikan pihaknya menggunakan metode sistem blinding yang acak dan tersamar ganda, sehingga subyek maupun peneliti tidak mengetahui apakah yang diberikan kepada subyek tersebut adalah salah satu dari produk yang diujikan atau plasebo.
"Metode uji klinis kandidat imunomodulator dilakukan secara acak terkontrol tersamar ganda dengan plasebo untuk menghindari terjadinya bias pada penelitian," ujarnya.
Masteria menambahkan ada dua produk uji dan satu plasebo yang diberikan secara acak dan merata kepada 90 subyek uji yang dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama mendapat terapi standar Covid-19 dan Investigational Product 1 (kombinasi herbal).
Kemudian kelompok perlakuan kedua mendapat terapi standar Covid-19 dan Investigational Product 2 (Cordyceps). Kelompok kontrol mendapat terapi standar COVID-19 dan plasebo.
Lebih dari itu, dia mengklaim tujuan utama dari uji klinis itu adalah untuk melihat apakah waktu yang diperlukan untuk mencapai perbaikan gejala klinis non-spesifik menjadi lebih pendek durasinya.
"Uji klinis juga ditujukan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil RT-PCR negatif setelah adanya perbaikan gejala klinis," ujar Masteria.