Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat menjadikan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) sebagai Undang-Undang dalam rapat paripurna. Imbas dari UU itu, televisi analog akan hilang pada 2022.
Keputusan itu tertuang dalam ayat 2 pasal 60A UU Ciptaker yang menyebut migrasi penyiaran televisi analog ke teknologi digital dan penghentian siaran analog (analog switch off) diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya UU tersebut.
Pengamat telekomunikasi, Heru Sutadi menilai migrasi televisi analog ke digital adalah keniscayaan. Sebab, dia mengatakan teknologi sudah berkembang dan pemirsa mendambakan tayangan dengan kualitas lebih bagus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sehingga digitalisasi memang sesuai tuntutan jaman dan keinginan masyarakat," ujar Heru kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/10).
Heru menuturkan migrasi televisi analog ke digital sejatinya dilakukan pada tahun 2018 sebagaimana roadmap Kementerian Kominfo. Namun, dia melihat hal itu urung terlaksana karena UU Penyiaran Nomor 32/2002 masih bersifat analog dan broadcast.
Lebih lanjut, Heru menyampaikan negara ASEAN sudah sepakat digitalisasi televisi paling lambat dilaksanakan pada tahun 2020. Bahkan, dia berkata inisiatif Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam dijadikan acuan internasional dalam mengalokasikan frekuensi 700 MHz sebagai dampak digitalisasi dan bonus digital.
Adapun kerugian dari televisi digital, kata Heru akan menimpa lembaga penyiaran. Sebab, dia menyebut alokasi frekuensi yang selama ini seolah melekat bagi lembaga penyiaran akan ditarik dan dialokasikan ke penyelenggara multiplexer.
"Sementara lembaga penyiaran hanya dapat kanal digital yang kalau dihitung frekuensinya lebih kecil," ujarnya.
Di sisi lain, Heru mengatakan infrastruktur untuk televisi digital di seluruh wilayah Indonesia bisa tersedia hingga batas akhir ASO. Namun, dia menekankan perlunya kerjasama antar pihak terkait agar hal itu berjalan lancar.
Dia menambahkan pemerintah juga harus menaruh perhatian khusus bagi televisi lokal dalam proses migrasi analog ke digital. Sebab, dia melihat televisi lokal akan diminati jika konten dan kualitas gambarnya bagus.
"TV lokal harus tetap jadi perhatian dan mendapat porsi dalam migrasi ke digital," ujar Heru.
Pengamat telekomunikasi, Nonot Harsono menilai tidak ada pihak yang dirugikan akibat migrasi televisi analog ke digital. Sebab, dia melihat teknologi saat ini sudah tersedia.
Misalnya, dia melihat seluruh toko elektronik sudah hampir satu dekade hanya menjual TV digital.
"Coba cek di toko mana yang masih ada TV tabung CRT (cathode ray tube). Kan sudah lama hanya ada TV flat LCD (liquid crystal display) kemudian beralih lagi ke LED (light-emitting diode)dan maju lagi ke organic LED," ujar Nonot kepada CNNIndonesia.com.
Nonot pun tidak mengelak masih ada masyarakat yang menggunakan televisi analog. Namun, dia yakin jumlahnya tidak banyak.
"Dan bisa disubsidi alat konverter yang disebut dengan set top box (STB)," ujarnya.
Lebih dari itu, dia menilai pihak yang merasa rugi dengan kebijakan itu adalah pihak yang tidak mau beralih dari televisi analog ke digital.