Vaksin corona buatan Pfizer asal Amerika Serikat dan BioNTech asal Jerman baru saja mengklaim vaksin buatannya 90 persen efektif menangkal Covid-19 dalam uji klinis yang saat ini masih berjalan.
Profesor di Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat di Universitas Flinders, Australia, Nikolai Petrovsky berpendapat vaksin Pfizer yang berbasis mRNA memiliki beberapa kelemahan.
Vaksin ini menggunakan teknologi pengembangan baru yang belum banyak diuji. Pengujian hingga saat ini masih dalam uji klinis. Vaksin jenis ini juga belum pernah digunakan pada vaksin lain sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sehingga data mengenai keselamatan dan kemanjuran vaksin untuk jangka panjang kepada manusia masih kurang. Belum ada artikel data final dalam uji coba yang melibatkan 43 ribu orang ini.
Kepala Program Biosecurity Kirby Institute di University of New South Wales, Raina Maclntyre menyatakan klaim Pfizer soal keampuhan vaksin 90 persen masih sebatas analisis interim atau hasil sementara dari uji klinis tahap 3 yang masih berlangsung. Belum menjadi hasil kesimpulan final. Sehingga ia menilai klaim Pfizer tidak didukung oleh data yang kuat.
Penyimpanan vaksin mRNA membutuhkan suhu di bawah -80 derajat celsius. Hal ini akan menjadi masalah dari sisi distribusi logistik vaksin.
"Kelemahan mRNA adalah kurangnya data keselamatan dan kemanjuran manusia jangka panjang dan kebutuhan akan freezer -80 derajat celsius untuk penyimpanan dan distribusi vaksin, sehingga saat ini vaksin ini tidak akan menjadi solusi bagi orang-orang di sebagian besar negara berkembang," ujar Petrovsky.
Sementara itu pendingin yang umum digunakan pada kulkas hanya -4 derajat Celcius. Namun, menurut ahli epidemiologi penyakit menular di University of Queensland, Linda Selvey vaksin mRNA mampu bertahan 24 jam pada suhu 4 derajat.
"Ini akan menjadi tantangan untuk kampanye vaksinasi massal," ujar Selvey.
Karena vaksin ini hanya berisi fragmen virus atau potongan bagian virus, ada kemungkinan vaksin ini memberikan respons imun yang lemah. Sehingga butuh tambahan dorongan lain untuk menambah keampuhan.
Ada kemungkinan teoritis kalau vaksin DNA/RNA bisa menyatu ke dalam genom penerima.
Kelebihan mRNA adalah vaksin tidak membutuhkan virus utuh sehingga dapat memangkas waktu produksi dibandingkan vaksin lainnya.
Direktur dan CEO Hudson Institute of Medical Research, Profesor Elizabeth Hartland mengatakan vaksin ini merupakan teknologi baru di mana mRNA dimasukkan ke dalam tubuh.
Dengan hanya membutuhkan mRNA, produksi virus dapat dipangkas sebab vaksin tak membutuhkan virus utuh.
"mRNA mengarah pada produksi komponen virus yang dikenali oleh sistem kekebalan. Ini adalah pendekatan baru untuk pengembangan vaksin dan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pembuatan vaksin klasik dalam hal seberapa cepat produk dapat dibuat dan didistribusikan," ujar Hartland.
Vaksin yang memanfaatkan teknologi rekayasa genetika bisa cepat dibuat, mudah diproduksi, dan berpotensi lebih murah ongkos produksinya, seperti ditulis The Conversation.
Dilansir dari Pharmacytimes, vaksin mRNA" ini tidak dibuat dengan virus SARS-CoV-2 utuh. Artinya tidak ada kemungkinan siapa pun dapat tertular dari suntikan.
Sebaliknya, vaksin tersebut berisi potongan kode genetik yang melatih sistem kekebalan untuk mengenali protein spike di permukaan SARS-CoV-2. Potongan ini tidak akan berpotensi menularkan Covid-19.
(jnp/eks)