Divisi Kedaulatan Dana Kekayaan Rusia menyatakan pada Rabu (11/11) bahwa menurut hasil analisis vaksin virus corona buatan mereka, Sputnik V, menunjukkan tingkat efektivitas hingga 92 persen.
Hasil analisis sementara Sputnik V itu dilakukan setelah para peneliti mengidentifikasi 20 kasus Covid-19 terhadap peserta uji coba klinis tahap 3 yang menerima vaksin atau plasebo.
Dalam sebuah pernyataan, lembaga Pendanaan Investasi Langsung Rusia (RDIF) yang mendanai penelitian vaksin Sputnik V menyatakan tidak ada kejadian merugikan yang tidak terduga selama uji coba tahap 3.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, beberapa orang yang menerima vaksin tersebut mengalami efek samping ringan jangka pendek seperti nyeri di tempat suntikan serta mengalami sindrom mirip flu termasuk demam, kelemahan, kelelahan dan sakit kepala.
Uji klinis tahap 3 vaksin Sputnik V akan berlanjut selama enam bulan lagi, dan data dari uji coba akan diterbitkan dalam jurnal medis internasional setelah dilakukan oleh peninjauan dari lembaga yang berwenang.
Kendati Sputnik V diklaim efektif 92 persen, sejumlah ahli mengingatkan agar tetap berhati-hati karena data analisis yang ditunjukkan masih jauh dari hasil akhir yang menyatakan vaksin itu aman untuk digunakan.
"Secara intuitif memang tidak masuk akal mengklaim perlindungan 92 persen hanya berdasarkan 20 peristiwa. Tapi kita harus lihat datanya," kata spesialis penyakit menular di Baylor College of Medicine, Peter Hotez, dilansir dari CNN, Kamis (12/11).
Pengumuman efektivitas vaksin Sputnik V oleh RDIF ini dilakukan tidak lama setelah pengumuman uji coba vaksin Covid-19 yang disampaikan oleh Pfizer dan BioNTech pada Senin (9/11) lalu.
Pfizer dan BioNTech mengklaim bahwa vaksin Covid-19 hasil penelitian mereka memiliki efektivitas sebesar 90 persen, berdasarkan analisis awal. Analisis sementara Pfizer dilakukan pada lebih 90 kasus yang positif corona di antara peserta uji coba.
Pfizer mengungkapkan sebanyak lebih dari 43.530 sukarelawan telah terdaftar dalam uji coba tahap 3, dan 38.955 sukarelawan telah menerima dosis suntikan kedua vaksin itu.
Vaksin yang dibuat Pfizer dengan Sputnik V dari Rusia berbeda. Vaksin buatan Pfizer didasarkan pada platform messenger RNA, teknologi vaksin yang belum pernah disetujui sebelumnya.
Sedangkan Sputnik V didasarkan pada metode vektor adenoviral yang tidak aktif. Salah satu keuntungan dari vaksin adenoviral adalah tidak perlu disimpan dan diangkut dalam suhu yang sangat dingin.
Untuk diketahui, Rusia menuai kritik dari kalangan ilmiah ketika mengumumkan vaksin virus corona mereka sebagai yang pertama disetujui di dunia untuk penggunaan publik.
Hasil dari uji pertama Sputnik V terhadap manusia diterbitkan di jurnal The Lancet pada September lalu. Hanya 76 orang yang terlibat dalam dua uji coba pertama.
Terlepas dari siapa atau apapun bentuk vaksinnya, pakar Imunologi dan penyakit menular di Universitas Edinburgh, Prof. Eleanor Riley, mendesak semua pembuat vaksin untuk mengutamakan kualitas dan keamanan ketimbang kecepatan.
"Ini bukan kompetisi," katanya.
"Kami membutuhkan semua uji coba untuk dilakukan dengan standar setinggi mungkin dan sangat penting bahwa kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya untuk menghapus data uji coba dipatuhi untuk menghindari pengambilan data yang tidak akurat. Apa pun yang kurang dari ini berisiko kehilangan kepercayaan publik. dalam semua vaksin, yang akan menjadi bencana," kata dia lagi.