Ahli Kritik Sertifikat Vaksin, Warga Bebas Pergi Tanpa PCR

CNN Indonesia
Jumat, 15 Jan 2021 16:15 WIB
Ahli mengkritik rencana Menkes yang akan menggunakan sertifikasi digital vaksinasi yang bisa digunakan warga bebas bepergian tanpa PCR.
Ilustrasi (ANTARA FOTO/MUHAMMAD BAGUS KHOIRUNAS)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sejumlah ahli mengkritik langkah Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi yang berencana membebaskan penggunaan sertifikat digital vaksinasi sebagai syarat bebas bepergian tanpa tes swab PCR kepada warga yang sudah disuntik vaksin Covid-19.

Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman adalah salah satu yang mengkritik kebijakan pemerintah itu. Ia menilai hal ini sudah melenceng dari strategi penanggulangan virus Covid-19, dan berpotensi bahaya bagi masyarakat.

"Vaksinasi itu tidak bisa menggantikan testing. ini rencana yang berbahaya karena ini tidak sesuai dengan konsep pengendalian pandemi, karena yang divaksin tetap berpotensi membawa virus Covid-19 " jelas Dicky saat dihubungi (15/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah disuntik vaksin, dilakukan tes swab pada primata. Hasilnya, tetal ditemukan SARS-CoV-2 di hidung, tenggorokan, atau saluran nafas atas lainnya.Pernyataan serupa juga datang dari praktisi kesehatan masyarakat, Endri Budiawan. Ia memberi contoh penelitian dan uji pre-klinis pada uji klinis tahap pertama vaksin corona yang dilakukan terhadap primata.

"Masih ditemukannya virus di saluran nafas atas menimbulkan kesimpulan vaksin tidak melindungi infeksi. Karena si virus masih bisa menyerang saluran nafas atas dan brekembang biak disana," tuturnya pada sebuah utas (15/1).



Ia berpandangan bahwa pemberian sertifikat vaksin Covid-19 sebagai pengganti PCR adalah keputusan keliru, karena tidak berdasarkan penelitian ilmiah.

Endri juga menjelaskan bahwa peneliti belum memiliki data yang akurat terkait efektifitas vaksin untuk mencegah kematian dan kasus berat akibat penyebaran virus Covid-19.

"Kita belum punya data yang kuat bahwa vaksin mencegah kasus berat dan kematian (akibat penyebaran Covid-19), " lanjutnya.

Kritik yang sama juga diungkap Pandu Riono, Ahli Epidemiologi FKM UI. Menurutnya selama dalam sejarahnya, vaksin memang bukan untuk menghentikan penularan. Tapi hanya untuk mengurangi gejala sakit.

"Belum ada data karena divaksinasi lantas tak tertular, cuma mengurangi gejala sakit, mengrangi orang yang bergejala covid," jelasnya saat dihubungi, Jumat (15/1).

Kritik PKPM

Dicky juga memberi kritik keras kepada pemerintah saat ini melenceng dari pemahaman penguncian wilayah atau kini dinamai PPKM.

Ia mengatakan, strategi penanggulangan pandemi harus berbasis sains agar optimal, dan tidak di tunggangi oleh kepentingan lain contohnya penyelamatan ekonomi.

"Saya ingatkan bahwa setiap strategi bencana pandemi harus berbasis sains, jangan mengulangi kejadian di 2020 yang digandoli ekonomi. Definisi PSBB sekarang banyak keluar dari arti PSBB dengan berbagai macam tujuan. Akhirnya jauh dari penanggulangan pandemi," kritiknya.

Lebih lanjut Ia juga menjelaskan, dengan kasus harian positif Covid-19 yang kian melesat, seharusnya bukan saatnya lagi untuk merencanakan bepergian dan memberikan akses untuk orang yang hendak menggunakan transportasi. Sudah saatnya untuk melakukan lockdown dan kembali diam dirumah.

Ia lantas menjelaskan bahwa pemerintah harus mengoptimalkan 3T, karena vaksin hanya menjadi penunjang untuk penanggulangan pandemi. Saat ini seluruh vaksin yang diproduksi pada tahapan efikasi 1 dan 2, yang artinya hanya untuk proteksi dari gejala ketika terinfeksi virus.

(can/eks)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER