Menyoal Aplikasi dan Kartu Pintar, Sertifikat Bebas Covid-19

can | CNN Indonesia
Senin, 28 Des 2020 18:10 WIB
Amerika Serikat tengah mengupayakan perlunya penggunaan apliaksi dan kartu pintar sebagai sertifikasi yang menjamin seseorang bebas Covid-19.
Ilustrasi (AP/Cheyenne Boone)
Jakarta, CNN Indonesia --

Beberapa perusahaan dan grup teknologi di Amerika Serikat (AS) telah mulai mengembangkan aplikasi dan kartu pintar sebagai tanda sertifikasi vaksinasi Covid-19 bahwa seseorang bebas infeksi virus corona.

Sertifikasi ini, akan merekam riwayat infeksi virus corona seseorang. Apakah ia sempat terinfeksi, rincian hasil tes, dan vaksinasi yang sudah dilakukan.

Nantinya, sertifikasi dari aplikasi ini bisa digunakan sebagai prasyarat untuk memasuki tempat konser, stadion, bisokop, kantor, bahkan melakukan perjalanan ke berbagai negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai contoh, aplikasi yang dikembangkan The Common Trust Network. Ini adalah sebuah organisasi yang diinisiasi oleh organisasi nirlaba The Commons Project dan World Economic Forum yang berbasis di Jenewa.

Mereka telah berafiliasi dengan berbagai maskapai penerbangan diantaranya Cathay Pacific, Swiss Airlanes, United Airlines dan Virgin Atlantic, serta ratusan sistem kesehatan Amerika serikat dan pemerintahan Aruba untuk berintegrasi dengan aplikasi ini.

Aplikasi CommonPass yang diinisiasi bersama ini memungkinkan pengguna untuk mengunggah data medis seperti hasil tes Covid-19.

Tidak hanya itu nantinya lewat aplikasi ini juga menjadi pelampir bukti vaksinasi, yang diterbitkan oleh rumah sakit atau tenaga medis profesional.

Dengan menggunakan aplikasi ini, nantinya pengguna dapat memberikan kode QR kepada petugas yang mengecek, tanpa harus memberikan informasi yang terbilang sensitif itu.

"Anda dapat dicek setiap kali melintasi perbatasan. Anda tidak dapat divaksinasi setiap kali Anda melintasi perbatasan," ucap Thomas Crampton, kepala pemasaran dan komunikasi untuk Commons.

Lebih lanjut Ia juga menjelaskan perusahaan teknologi besar lainnya turut mengembangkan aplikasi serupa. IBM mengembangkan aplikasinya dengan nama Digital Health Pass, yang memungkinkan perusahaan dan otoritas tempat tujuan dapat menyesuaikan indikator yang diperlukan untuk masuk, termasuk tes deteksi virus Corona, pengecekan suhu dan catatan vaksin.

Data yang diperoleh tersebut kemudian tersimpan di dalam dokumen yang ada di ponsel penggunanya.

Dalam upaya mengatasi kenormalan baru setelah vaksin didistribusikan, pengembang aplikasi sekarang harus menghadapi tantangan lain, yaitu mulai masalah privasi.

Sebelumnya, pada masa awal pandemi, Apple dan Google mengesampingkan persaingan smartphone mereka untuk bersama mengembangkan sistem berbasis bluetooth, untuk memberi tahu penggunanya jika mereka terpapar dengan pasien Covid-19.

Kini, banyak negara dan otoritasnya mengembangkan dan menggunakan aplikasi untuk memantau masyarakatnya dari sebaran virus corona.

Untuk mendorong koordinasi yang lebih baik, Linux Foundation bermitra dengan Covid-19 Credentials Initiative, yang merupkan komunitas perwakilan puluhan organisasi kesehatan di lima benua. Ia juga bekerja sama dengan IBM dan CommonPass untuk membantu pengembangan standarisasi perangkat aplikasi vaksin tersebut.

"Jika kami berhasil melakukan pengembangan, Anda harus mengatakan; Saya memiliki sertifikat vaksin di smartphone yang saya dapatkan saat melakukan vaksinasi," ujar Brian Behlendorf, Direktur Eksekutif Linux Foundation, seperti dikutip CNN

Idealnya, sertifikasi ini lantas bisa digunakan di negara lain agar pengguna bisa menghadiri konser misalnya. Sehingga semua yang hadir dalam konser itu sudah tersertifikasi tervaksin corona.

Namun, paspor vaksini ni menurutnya masih harus memperhitungkan seberapa besar populasi global yang masih tidak memiliki smartphone.

Bagi mereka yang tak memiliki smartphone, perusahaan pengembang Covid-19 Credentials Initiative tengah mengembangkan kartu pintar. Kartu ini diharapkan jadi jalan tengah sertifikat vaksin konvensional dan sertifikat vaksin versi digital. Langkah ini dinilai lebih mudah disimpan dan didistribusikan.

"Bagi kami data digital dapat disimpan dan disajikan tidak hanya menggunakan ponsel pintar, tetapi juga dengan cara lain," ujar Lucy Yang, Wakil Covid-19 Credentials Initiative.

Saat masyarakat membuat paspor vaksin, perusahaan harus memastikan apabila orang tersebut merasa nyaman menggunakanya. Dalam artian, pengguna harus nyaman terkait privasi medis yang nantinya dibeberkan kepada pengembang aplikasi, sebagai data pelengkap.

CommonPass, IBM, dan Linux Foundation mengaku menekankan privasi sebagai fokus mereka. IBM juga mengatakan nantinya pengguna dapat menyetujui atau tidak apabila hal tersebut melanggar hak privasi pengguna.

"Kepercayaan dan transparansi tetap penting saat mengembangkan platform seperti paspor kesehatan digital, atau solusi apa pun yang menangani informasi pribadi yang sensitif," katanya.

Dengan kompetisi vaksin yang diproduksi oleh banyak perusahaan di berbagai negara, ada banyak hal yang perlu diperhitungkan oleh pembuat paspor virus tersebut.

Nantinya tiap negara diperbolehkan untuk memperhitungkan orang dengan spesifikasi vaksin tertentu. Karena hasil vaksin dari berbagai perusahaan dinilai cukup bervariatif, seperti Sinoprharm yang 86 persen mencegah virus, Pfizer dan Moderna yang masing-masing memiliki pencegahan sekitar 95 persen.

Dr. Julie Parsonnet, spesialis penyakit menular di Universitas Stanford menilai, seberapa efektifnya vaksin dalam menghentikan virus diklaim tidak jelas. Jadi meskipun aplikasi paspor menunjukan bahwa penggunanya sudah di vaksin, hal itu mungkin tidak menjamin penggunanya dapat terlindungi dari paparan virus.

"Kami masih belum tahu apakah orang yang divaksinasi dapat menularkan infeksi atau tidak," katanya.

(eks)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER