Pakar Budaya dan Komunikasi Digital, Firman Kurniawan menilai kehidupan netizen bermedia sosial di Indonesia mengerikan. Hal ini disebut karena banyaknya praktik yang merugikan pengguna seperti doxing hingga scamming jika seorang tidak setuju dengan pendapat tertentu di medsos.
"Netizen Indonesia ketika ada peristiwa apapun dikomentari kemudian kalau mereka benci ya benci banget, termasuk sifat tidak beradab seperti scamming, doxing. Jadi mengerikan memang kehidupan sosial media kita," ujar Firman kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Senin (1/3).
Firman menjelaskan hal tersebut selaras dengan survey yang dilakukan oleh Microsoft pada 32 negara di dunia, termasuk di Indonesia. Ia menilai kegiatan bermedia sosial di Indonesia kerap diwarnai dengan keberadaban yang buruk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu disebut karena maraknya ujaran kebencian, hoax serta perundungan di jagat maya yang berlangsung pada momentum tertentu, seperti Pilpres, Pilkada dan pandemi Covid-19.
"Event-event di pilkada dan pilpres itu diwarnai hoax, diwarnai juga ungkapan kebencian, nah itu jadi relevan antara hasil survey (Microsoft) dengan kehidupan nyata," ujarnya.
"Kemudian juga pandemi Covid-19. Bahkan WHO menyebut di dunia ini dilanda dengan Infodemik. Kominfo kalau enggak salah di tahun 2020 sebut ada 1200 hoax pandemi covid-19," tambah Firman.
Lebih lanjut ia mengatakan dengan intensnya masyarakat Indonesia menggunakan media sosial, hasil survey tersebut menjadi tolak ukur yang tidak terpisahkan dengan realitas masyarakat Indonesia.
Firman menjelaskan metode riset Digital Civility Index (DCI) yang dilakukan Microsoft kepada lebih dari 16.000 responden di dunia. Kata dia, survei ini merupakan indeks keberadaban digital yang di dalamnya terdapat beberapa variabel.
Variabel yang digunakan untuk survei kepada responden, kata dia, di antaranya rentang umur, kategori hoax, scamming dan perundungan. Survey ini dilakukan dengan cara digital.
Ia mengatakan survei tersebut menggunakan metode survei digital, dengan teknik sampling yang disebut non probability sampling. Hasilnya survei ini hanya berlaku pada orang yang disurvei saja.
"Dalam survei ini dilakukan hanya kepada orang-orang yang kebetulan mendapatkan link saja untuk mengisi. Artinya kesimpulan hanya berlaku pada orang yang disurvei saja. Jadi enggak bisa menggambarkan secara menyeluruh," jelasnya.
Namun menurutnya hal ini bisa dijadikan perbandingan kegiatan orang Indonesia di jagat maya dengan 31 negara lain yang ikut disurvei.
Di samping itu Firman menyarankan kepada semua pihak seperti pembuat aturan, penegak aturan dan para tokoh masyarakat untuk membangun literasi publik untuk menghilangkan 'gagap etika' antara dunia virtual dan dunia realita.
"Sesungguhnya perilaku yang disebut kurang beradab sebagaimana hasil survey adalah "korban" dari didorongnya perangkat digital sebagai alat pencari perhatian," kata Firman.
Ia menilai seharusnya perangkat digital bukan hanya sekedar alat untuk mencari perhatian publik. Namun sebagai medium komunikasi yang dapat memudahkan penggunanya untuk berinteraksi.