Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia merupakan negara yang terbuka bagi semua pihak. Namun, dia menegaskan Indonesia tidak boleh menjadi korban praktik tidak adil dari raksasa digital.
Chairman (Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha menilai Jokowi ingin infrastruktur Palapa Ring digunakan secara maksimal. Sebab, dia berkata Palapa Ring masih sekedar infrastruktur internet biasa.
"Presiden Jokowi jelas ingin agar pihak di dalam negeri, baik Badan Usaha Milik Negara maupun swasta bisa memaksimalkan backbone internet dari Palapa Ring yang sudah selesai," ujar Pratama kepada CNNIndonesia.com, Senin (1/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam laman resmi, Kementerian Komunikasi dan Informatika menjelaskan Palapa Ring merupakan proyek infrastruktur telekomunikasi berupa pembangunan serat optik di seluruh Indonesia sepanjang 36.000 kilometer.
Proyek itu terdiri atas tujuh lingkar kecil serat optik, untuk wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi, dan Maluku, serta satu backhaul untuk menghubungkan semuanya.
Pratama menuturkan provider seharusnya tidak takut memaksimalkan infrastruktur internet di tanah air. Hal itu perlu digalakkan agar masyarakat Indonesia Tengah dan Timur yang masih banyak belum terjangkau internet bisa mendapatkan akses internet yang luas dan cepat.
Berdasarkan informasi, ancaman provider internet dalam negeri adalah layanan internet murah seperti Google Loon dan Starlink milik Elon Musk. Namun dengan tidak jadinya Mesk membangun pabrik Tesla di Indonesia membuat ancaman Starlink berkurang.
"Internet akan mempercepat ekonomi kreatif dan ekonomi digital di luar Jawa khususnya. Ini akan membantu Indonesia mendapatkan devisa dari berbagai bentuk bisnis baru di tanah air," ujarnya.
Pratama berkata ancaman praktik tidak adil tidak hanya datang dari satu perusahaan. Misalnya, dia melihat Google dan Facebook memiliki model bisnis dan operasional yang cukup merugikan negara, misalnya terkait pajak. Lalu, dia berkata data yang dihimpun dan dimonetisasi juga tidak kena pajak.
Pratama mengakui pemerintah memang berhasil menarik pajak dari layanan digital asing seperti Google, Netflix dan Spotify. Namun, pemerintah Indonesia belum mampu mengatur pengelolaan data oleh para raksasa teknologi tersebut.
"Pengelolaan data ini menyangkut uang yang sangat besar. Bisa kita lihat saat kementerian kita harus membeli data yang mahal dari para pemilik platform, kebetulan sebagian besar dari luar negeri. Intinya memang ada banyak hal dalam dunia digital ini yang kita belum bisa selesaikan dengan raksasa teknologi," ujar Pratama.