Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) diminta untuk memprioritaskan UU 12 tahun 2011 dan PP 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko di sektor Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran (Postelsiar).
Menurut pakar hukum telekomunikasi Ahmad Redi, Rancangan Peraturan Menteri (RPM) perizinan adalah salah satu yang harus difokuskan agar kompleksnya masalah di sektor telekomunikasi dengan perusahaan digital asing di tanah air bisa diselesaikan secara komprehensif.
Redi memberikan contoh, kerja sama antara perusahaan over the top (OTT) asing seperti Netflix dkk dengan operator telekomunikasi harus diatur secara rinci dalam RPM turunan dari PP Postelsiar. Dalam hal ini Redi meminta Kominfo agar meminta masukan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk membuat RPM yang atur perizinan OTT Asing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Buat RPM, Kominfo harus gaet Kemenkeu, Tujuannya agar Indonesia dapat menikmati keuntungan dari industri digital, khususnya soal pajak penghasilan dari OTT Asing atau perusahaan digital asing," kata Redi lewat keterangan tertulis kepada redaksi, Senin (15/3).
RPM yang dibuat Kominfo tersebut diklaim akan menjadi ujian di hadapan publik soal tantangan Presiden Joko Widodo yang tak ingin Indonesia jadi korban perdagangan digital asing.
Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute itu mengkritik adanya penyusunan RPM yang tidak fokus terjadi di Kominfo. Menurut Redi, bukannya fokus ke perizinan berusaha berbasis risiko, Kominfo bahkan menargetkan untuk menyelesaikan semua substansi PP 46 tahun 2021 mengenai Postelsiar dalam waktu 2 bulan.
"Harusnya memprioritaskan membuat RPP perizinan terlebih dahulu. Bukan malah membuat RPM 'Sapu Jagat' dalam waktu 2 bulan," kata Redi.
Di samping itu, dalam PP Postelsiar juga banyak menyebutkan persaingan usaha yang sehat. Pengaturan mengenai persaingan usaha yang sehat di industri telekomunikasi juga perlu dirinci di RPM turunannya.
Redi khawatir jika objektif dalam membuat regulasi Kominfo hanya kecepatan saja, namun tidak rinci serta tak komprehensif, maka yang dirugikan adalah Pemerintah, pelaku usaha serta masyarakat.
Seperti diketahui, setelah menyelesaikan UU 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja dan aturan turunannya yang terdiri dari 45 PP serta 4 Perpres kementerian diminta segera membuat aturan teknis tentang tata cara pelaksanaan UU Cipta Kerja. Peraturan teknis tersebut rencananya dituangkan dalam RPM.
Di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian, saat ini beberapa Kementerian menyusun RPM sebagai aturan teknis tentang tata cara pelaksanaan UU Cipta Kerja. Sesuai amanat PP 5 Tahun 2021, peraturan pelaksana mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko wajib ditetapkan dalam kurun waktu dua bulan sejak PP tersebut berlaku.
Sebelumnya, pengamat Telekomunikasi Kamilov Sagala mengungkapkan daftar pekerjaan rumah (PR) besar Kominfo terhadap perusahaan OTT Asing seperti Netflix hingga lokal usai Peraturan Pemerintah 46 tahun 2021 tentang Postelsiar terbit.
Mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI)itu mengakui aturan pemerintah terhadap OTTasing sudah terlambat. Ia menilai sudah banyak OTT asing yang menikmati keuntungan di Indonesia, namun merugikan negara. Salah satunya soal pajak.
Lewat PP Postelsiar, Menkominfo Johnny Plate diharapkan bisa merapatkan barisan dengan penyelenggara telekomunikasi dan Menteri Keuangan untuk menekankan Pajak Penghasilan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik yang dilakukan oleh penyelenggara OTTasing di tanah air.
"Karena selama ini OTT asing tidak pernah diatur. Seharusnya OTT asing tersebut bayar triliunan rupiah, tapi jumlah yang diterima negara tidak signifikan. Pemerintah dalam hal ini Kominfo harus bisa mengantisipasi ini," terang Kamilov lewat keterangan tertulis, Senin (1/3).
(dal/dal)