Beijing telah lama menganggap negara Barat dan media memperlakukan China dengan standar yang berbeda. Beberapa pejabat China juga kerap melontarkan tanggapan nasionalis tiap negara itu dikritik.
China dianggap terlambat dalam eksplorasi ruang angkasa, karena baru meluncurkan satelit utamanya pada 1970, 13 tahun setelah Uni Soviet meluncurkan satelitnya.
Namun dalam beberapa dekade terakhir, negara itu dengan cepat menjadi pelopor dalam perlombaan antariksa. Namun China menjadi negara pertama yang mendarat di sisi terjauh Bulan pada 2019 dan berhasil membawa sampel batu bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembelaan terhadap kritik yang dilontarkan Amerika Serikat sebagian lahir dari apa anggapan Beijing soal perseteruan Washington untuk menghalangi kemajuan di dunia antariksa.
Sejak tahun 1999 AS telah memberlakukan monopoli ekspor atas teknologi satelit ke China. Pada 2011 kongres memberlakukan pembatasan keterlibatan NASA dengan China.
Hal ini mengakibatkan astronaut Tiongkok dilarang masuk ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), yang merupakan satu-satunya stasiun luar angkasa di orbit hasil kolaborasi AS, Rusia, Eropa, Jepang, dan Kanada.
Meski begitu, China dilaporkan membangun stasiun luar angkasanya sendiri yang bernama Tiangong (istana surgawi).
Di samping itu, walaupun China menuding AS karena melakukan 'kampanye kotor' pada praktik antariksanya, China tidak menjelaskan mengapa bongkahan roket Long March 5B itu mencemaskan di kalangan ilmuwan global.
Dikutip CNN, kepingan roket dianggap sering kali jatuh sebelum mencapai orbit di perlintasan. Namun seharusnya hal ini dapat diprediksi sebelum melakukan peluncuran.
Ketika roket dirancang untuk mencapai orbit, mereka biasanya datang dengan perangkat yang terkontrol untuk masuk kembali ke Bumi dan mengarah ke laut.
Puing-puing roket China diperkirakan memiliki berat lebih dari 20 ton. Bongkahan ini adalah objek luar angkasa terbesar yang kembali tanpa kendali ke Bumi dalam hampir tiga dekade.
(can/eks)