Lebih lanjut ia juga menuturkan bahwa tantangan pengembangan vaksin Merah Putih lainnya yakni harus memenuhi tiga kriteria. Yakni aman, efektif dan halal serta dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
"Tentunya kita juga bisa diharapkan membantu negara lain yang belum mendapatkan vaksin secara memadai," katanya.
Ia menilai bahwa vaksin merupakan produk kesehatan yang regulasi persyaratanya lebih banyak, tidak seperti regulasi pada pembuatan makanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di samping itu Amin menilai bahwa penelitian di bidang pengembangan obat dan vaksin merupakan suatu investasi dan risiko yang sangat besar. Amin mengatakan bahwa riset dan pembangunan vaksin membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Ia menggambarkan bahwa biaya yang dibutuhkan dalam melakukan uji klinis saja dibutuhkan Rp20 juta pada satu subjek. Sedangkan dibutuhkan sedikitnya 5000 hingga 20 ribu subjek.
Untuk melakukan uji klinis itu, kata Amin, setidaknya dibutuhkan Rp400 miliar untuk 1 kandidat vaksin. Jika ada dua kandidat maka Rp400 miliar merupakan anggaran minimum untuk melakukan uji klinis.
"Kalau misalnya 20 ribu subjek kalikan Rp20 juta, maka kita butuhkan Rp400 miliar untuk 1 calon vaksin. Nah kalau kita punya 2 calon vaksin misalnya dibutuhkan 400, [itu] sedikitnya. Belum lagi kalau kita berpikir untuk melakukan multi center study, ya kita melakukan uji klinis itu di luar negeri misalnya," ujar dia.
Namun begitu jika dibandingkan dengan mendatangkan vaksin dari luar negeri, angka Rp400 miliar itu dinilai murah. Hal itu disebutnya jika nilai investasi yang digelontorkan itu dapat memproduksi 400 juta vaksin, maka per dosisnya seharga US$1 hingga US$2 saja atau senilai Rp14 ribu hingga Rp28 ribuan (kurs Rp14.399).
"Kalau dihitung-hitung satu dosisnya murah sekali, sekitar US$1-2. Dibandingkan kalau kita impor lebih tinggi harganya," tutup Amin.