Menurut Solihuddin, terdapat dua ancaman yang menyebabkan Jakarta sangat rawan dan berpotensi tenggelam: perubahan iklim dan penurunan tanah.
Berdasarkan laporan BMKG, masalah perubahan iklim menyebabkan El Nino (musim kering panjang) dan La Nina (musim hujan panjang) intensitasnya semakin meningkat.
"Jika pada periode 1950-1980 siklusnya sekitar 5-7 tahunan, pada periode 1980-2018 siklusnya menjadi 2-3 tahunan. Dampaknya? Kita akan lebih sering mengalami kekurangan air (kekeringan) sekaligus kelebihan air (banjir)," tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini bakal berimbas ke Jakarta. Sebab, hampir setiap tahun Jakarta mengalami banjir yg disebabkan oleh salahsatu atau kombinasi: air kiriman dari hulu (Bogor), air di hilir (Jakarta) karena curah hujan tinggi, dan air dari laut (rob).
Masalah perubahan iklim lain adalah kenaikan muka air laut hingga tahun 2100 yang mencapai 0,8 - 1 meter.
Prediksi tersebut diperkuat oleh hasill penelitian Prof. Hasanudin Z. A., dkk dr ITB menggunakan data pasut pengukuran tahun 1984-2004 (20 thn) yang menunjukkan telah terjadi tren kenaikan muka air laut sebesar 1 cm/tahun.
"Dampaknya? Genangan air laut semakin meluas di dataran pesisir rendah seperti Jakarta dan Pantura Jawa umumnya."
Perubahan iklim juga berimplikasi terhadap intensitas gelombang ekstrim. Dalam dekade terakhir, tercatat hampir setiap tahun Jakarta mengalami banjir rob akibat gelombang ekstrim dan pasang purnama. Gelombang juga berdampak terhadap pengikisan pantai, menyebabkan robohnya tanggul dan semakin meluasnya daerah abrasi.
Selain perubahan iklim, penyebab lain yang tdk kalah bahayanya namun sering kali luput dari perhatian adalah penurunan tanah.
Dataran rendah pesisir Jakarta dan Pantura Jawa umumnya tersusun oleh endapan aluvial sungai yg belum terkonsolidasi, sehingga sangat rentan terhadap proses kompaksi alamiah dan/atau pemadatan oleh beban bangunan.
Pertumbuhan kota dengan segala jasa pelayanannya dan tekanan demografi menuntut pengembangan wilayah dan pemanfaatan sumber daya alamnya termasuk air tanah.
Pengambilan air tanah secara berlebihan pun berkontribusi terhadap penurunan tanah secara signifikan di Jakarta.Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Heri Andreas dkk., dari ITB menyatakan bahwa Kota Jakarta mengalami penurunan tanah dengan intensitas 1-20 cm/tahun.
Di beberapa lokasi bahkan ada yg mencapai 25 cm/tahun, dengan rata-rata laju penurunan tanah sekitar 15 cm/tahun. Kini, sudah 14% daerah Jakarta berada di bawah rata-rata muka air laut dan akan terus meningkat di masa mendatang jika tindakan pencegahan tidak dilakukan.
(eks)