Ditambah seringkali hoaks tampil lebih menarik, karena disertai dengan foto atau bahkan video yang tampak meyakinkan, dan bahasanya ringan mudah ditangkap. Sedangkan berita asli, dinilai Septiaji, terkadang gagal bersaing karena lebih banyak menggunakan narasi dan rasional.
"Seringkali hoaks tampil lebih menarik, karena disertai dengan foto atau bahkan video yang tampak meyakinkan, dan bahasanya ringan mudah ditangkap, sedangkan berita asli, kadang gagal bersaing karena lebih banyak menggunakan narasi dan rasional," ujar Septiaji kepada CNNIndonesia.com lewat pesan teks (9/9) malam.
Lebih lanjut ia menilai bahwa polarisasi akan sangat menentukan tingkat penerimaan berita hoaks, dalam situasi polarisasi yang kuat. Maka, hoaks akan cenderung mudah menyebar daripada situasi minim polarisasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat disinggung soal literasi masyarakat di media sosial, Septiaji sejalan dengan Firman. Ia menilai bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih banyak yang belum memiliki kecakapan digital mumpuni, meskipun sudah lama memegang smartphone dengan internet cepat sekalipun.
Hal itu lantaran di era post truth ini emosi dan keyakinan pribadi seseorang lebih dominan dalam membentuk persepsi daripada fakta objektif.
"Bahkan ini juga fenomena global, seperti teori konspirasi Covid-19 juga laris di Amerika, bahkan di Inggris sampai 77 tower 5G dibakar masyarakat yang terhasut hoaks," ujarnya.
Jadi, dijelaskan Septiaji bahwa saat ini masyarakat Indonesia masih perlu kerja keras untuk mengajak warga lain untuk berdigital dengan mengedepankan literasi, bukan hanya bisa membaca saja tetapi harus bisa menalar.
"Berpikir kritis perlu kita tanamkan khususnya menyikapi banjir informasi dari media digital," tutupnya.
Selanjutnya ia menilai arus kabar hoaks makin deras di Pilkada DKI pada 2017, diikuti Pilpres, Pileg dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di tahun 2019, dan dibarengi saat pandemi Covid19 di tahun 2020.
"Pada saat itu, banjir hoaks benar-benar jadi fenomena di tengah upaya penanganan pandemi," tuturnya.
Lebih lanjut ia menilai seharusnya kini masyarakat lebih melek terhadap kabar hoaks dan mampu menangkalnya. Dia menyarankan untuk memperbanyak program literasi yang dijalankan kepada masyarakat agar lebih paham bentuk-bentuk hoaks.
Hal itu disebutnya lantaran saat ini informasi hoaks kian samar terlihat dengan menyelipkan informasi hoaks sebagai kewajaran. Pesan hoaks kata Firman, mampun menyelinap ke dalam kebutuhan informasi sehari-hari yang dibutuhkan masyarakat.
Selain literasi tentang teknik-teknik penyebaran hoaks, peredaman beredarnya hoaks dinilai Firman bisa ditempuh dengan pengetahuan. Ia menilai masyarakat yang gemar membaca, mengkaji bahan bacaan secara kritis akan membangun sikap lebih berhati- hati menerima informasi.
"Ini yang bisa menyegarkan pikiran masyarakat untuk terhindar sebagai korban hoaks," pungkasnya.
(can/eks)