Daryono juga menjelaskan gempa besar di Jawa kembali terjadi pada 11 September 1921 dengan magnitudo 7,6. Pusat gempa ini terletak di zona outer rise selatan Pacitan yang juga memicu tsunami hingga Cilacap.
Kemudian, Pacitan kembali diguncang gempa berskala besar pada 27 September 1937. Dampak gempa ini mencapai skala intensitas VIII-IX MMI menyebabkan 2.200 rumah roboh dan banyak orang meninggal.
Lebih lanjut, Daryono menjelaskan ada banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mitigasi bencana guna mencegah korban saat terjadi tsunami. Menurutnya, masyarakat perlu memahami konsep evakuasi mandiri, sebab hal itu merupakan jaminan keselamatan dari tsunami yang terbukti efektif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk mendukung efektivitas proses evakuasi, maka jalur evakuasi harus sudah disiapkan, rambu evakuasi sudah terpasang secara permanen. Adanya kelengkapan fasilitas ini membuat masyarakat yang melakukan evakuasi akan dengan segera mencapai titik kumpul di tempat evakuasi sementara di daerah yang aman," lanjut Daryono.
Selain itu, Daryono mengimbau agar masyarakat tidak mengabaikan peringatan dini tsunami yang disebarluaskan oleh BMKG menggunakan multimoda diseminasi.
"Masyarakat harus memiliki sikap swasadar informasi gempa dan peringatan dini tsunami serta memiliki respon yang cepat untuk segera melakukan evakuasi, karena golden time yang cukup singkat," ucap Daryono.
Daryono juga menyebut pemerintah daerah harus sigap dan cepat dalam merespon peringatan tsunami untuk selanjutnya mengaktifkan sirene untuk perintah evakuasi masyarakat pesisir.
Jika ada kendala yang menyebabkan penduduk terlambat mengetahui adanya peringatan tsunami, maka penting bagi masyarakat memahami cara selamat dengan melakukan evakuasi vertikal secepatnya.
"Meskipun harus memanjat pohon, memanjat bangunan tower yang tinggi, atau memanjat bangunan tinggi lainnya yang terdekat. Ini adalah beberapa cara selamat dalam menghadapi tsunami," ucap Daryono.