Forum LSM Aceh mengecam perusahaan perusak lahan gambut Rawa Tripa yang ada di kawasan hutan lindung Leuser, PT Kallista Alam, lantaran tak kunjung membayar denda yang diwajibkan pengadilan.
Pembayaran denda tak kunjung dilakukan lantaran eksekusi pembayaran denda terhambat di lapangan lantaran ditangani oleh PN Suka Makmue. Padahal putusan Mahkamah Agung (MA) telah jatuh sejak 18 April 2017.
"Kami mendesak MA segera melakukan judicial activism, dengan mengambil alih kewenangan eksekusi dari PN Suka Makmue," demikian tertulis dalam petisi yang dilayangkan di Change.org.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Forum LSM Aceh sebagai salah satu penggagas petisi menyebutkan, proses eksekusi seharusnya sudah
bisa dilakukan sejak empat tahun lalu, tetapi selalu gagal di proses penilaian aset.
"Padahal Ketua PN Suka Makmue sudah mengambil sumpah tim appraisal yang bertugas menghitung nilai aset perusahaan
yang akan dieksekusi. Ketua PN Suka Makmue enggan menugaskan juru sita mendampingi tim appraisal
di lapangan, sehingga proses appraisal selalu gagal. Kegagalan itu yang membuat eksekusi tidak berjalan
sampai saat ini," kata Sekjen Forum LSM Aceh Sudirman Hasan lewat keterangan resmi, Selasa (12/10).
Hingga Juni 2021, putusan hukum terhadap PT Kallista Alam belum dieksekusi. Perusahaan masih beroperasi dan tanah, tanaman, serta bangunan yang menjadi jaminan masih dikuasai perusahaan.
Hal ini yang membuat Forum LSM Aceh dan kelompok pecinta lingkungan di Aceh berharap agar Mahkamah Agung mengambilalih kewenangan dan segara melakukan eksekusi.
Perusahaan kelapa sawit PT Kallista Alam dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Meulaboh lantaran membakar lahan gambut Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh.
Padahal berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 telah menyatakan lahan gambut itu sebagai kawasan lindung. Rawa Tripa juga kawasan gambut krusial yang disebut sebagai "Ibukota Orangutan di Dunia" karena jumlah kepadatan populasi satwa kunci di kawasan ini.
Perusahaan perkebunan itu dinyatakan bersalah dan dihukum membayar ganti rugi sejumlah Rp 366 miliar, dengan rincian Rp114,3 miliar ke kas negara dan Rp 251,7 miliar untuk pemulihan lahan.
Putusan Pengadilan Negeri ini lantas dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung (MA). Pada 18 April 2017, MA memutuskan untuk menolak permohonan PK yang diajukan oleh PT Kallista Alam, dan eksekusi putusan ini bersifat inkracht, artinya tidak ada lagi proses hukum yang dapat dilakukan untuk melawan putusan ini.
PN Meulaboh telah mendelegasikan kewenangan kepada PN Suka Makmue. Sayangnya, PN Suka Makmue sebagai pihak yang berwenang, enggan menjalankan tugasnya dengan alasan belum ada tata hukum atau standar operating procedure (SoP) yang mengatur eksekusi putusan untuk kasus lingkungan seperti yang terjadi di Nagan Raya itu.
PN Suka Makmue menuntut adanya amar putusan baru yang menegaskan hak tersebut. Selagi amar putusan belum ada, PN Suka Makmue tidak mau masuk ke lokasi sengketa.
Sehingga, saat KJPP hendak melakukan penghitungan nilai aset di lokasi yang akan disita, mereka diusir oleh petugas PT Kallista Alam karena tidak ada pendampingan dari juru sita PN Suka Makmue.
Hakim Sugeng Riyono selaku anggota Pokja Lingkungan MA mengakui kalau eksekusi terhadap PT Kallista Alam itu tidak semudah eksekusi kasus lainnya.
"Memang benar ada kekosongan hukum di sana, sehingga ini yang membuat Ketua PN Suka Makmue tidak mau berspekulasi memerintahkan juru sita melakukan eksekusi di lapangan. Tapi kekosongan hukum ini seharusnya bisa diatasi melalui proses
judicial activism, yakni semacam terobosan hukum untuk mengisi kekosongan yang ada. Judicial activism ini sangat penting dalam rangka mewujudkan keadilan," kata Sugeng.
Masalahnya, Ketua PN Suka Makmue tidak berani melakukan langkah terobosan hukum tersebut. Hal ini yang membuat Forum LSM Aceh dan kelompok pecinta lingkungan di Aceh berharap agar MA mengambilalih kewenangan itu dan segara melakukan eksekusi.
(eks)