Greenpeace: Pembatasan Longgar, Polusi Jakarta Kembali Normal
Greenpeace Indonesia menunjukkan tingkat polusi udara Jakarta dan 4 kota besar lain di Indonesia kembali ke kadar normal di masa pelonggaran pembatasan kegiatan warga berdasarkan data pengamatan satelit.
Imbasnya, udara di 5 kota besar Indonesia termasuk Jakarta yang sempat lebih bersih pada awal pandemi, kini mulai kembali ke wujud semula. Kelima kota itu adalah Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Semarang.
Hal ini nampak dalam laporan terbaru Greenpeace Indonesia, citra satelit ungkap udara beracun NO2 penyebab polusi meningkat kembali pada April hingga Juni 2021.
Peningkatan kembali polusi udara di wilayah Jabodetabek diduga sebagai dampak melonggarnya pembatasan mobilitas masyarakat yang membuat sejumlah masyarakat mulai kembali beraktivitas di luar rumah.
"Seiring dengan pelonggaran mobilitas warga selama April-Juni tahun ini, polusi NO2 kembali bergerak naik di lima kota besar," ujar Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia seperti dikutip dari laman resmi, Senin (18/10).
Dalam laporan terbaru Greenpeace Indonesia, saat pemberlakuan PSBB sepanjang April-Juni 2020, kolom atmosfer NO2 di 5 kota lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Jakarta tercatat -35 persen, Bandung -20 persen, Surabaya -11 persen, Medan -26 persen, Semarang -24 persen.
Sementara Sepanjang April-Juni 2021, jumlah NO2 terukur lebih tinggi di semua lokasi ini dibandingkan periode yang sama di tahun 2020: Jakarta +54 persen, Bandung +34 persen, Surabaya +20 persen, Medan +9 persen, Semarang +31 persen, PLTU Cilegon PTIP +31 persen dan PLTU Suralaya +39 persen.
Sementara itu, kadar NO2 di sekitar PLTU Cilegon PTIP (PT Indorama Petrochemicals) lebih tinggi 9 persen pada periode April-Juni 2020 dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Kadar NO2 di sekitar PLTU Suralaya lebih rendah 12 persen pada April-Juni 2020 dibandingkan periode sama tahun 2019, tetapi tetap di atas level tahun 2018.
Peningkatan polusi NO2 di sekitar kedua lokasi pembangkit listrik juga berdampak signifikan pada permintaan energi lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya, dengan konsekuensi emisi polutan udara yang turut meningkat.
Polusi udara yang selalu menjadi isu di wilayah perkotaan sangat berisiko terhadap kesehatan manusia. Hal tersebut dapat membentuk kondisi kesehatan yang buruk, termasuk kematian dini.
Sehingga aktivitas manusia yang mengandalkan energi dan sistem transportasi dengan bahan bakar fosil secara tidak langsung dibayar dengan risiko kesehatan yang tinggi.
Greenpeace Indonesia sebagai organisasi kampanye lingkungan menyarankan Indonesia beralih ke transportasi publik massal berorientasi emisi rendah untuk mencegah dampak buruk dari polusi udara berlanjut.
"Untuk mencegah dampak buruk bagi kesehatan manusia berlanjut di masa depan, Indonesia harus menghentikan penggunaan bahan bakar fosil sesegera mungkin dan mendukung pengembangan transportasi publik massal berorientasi emisi rendah hingga nol emisi," kata Aidan Farrow, Peneliti Greenpeace International Unit Sains dalam akun Instagram Greenpeace Indonesia, Senin (18/10).