Eksistensi pendengung isu alias buzzer di media sosial telah dikenal seiring popularitas media sosial merata di Indonesia.
Namun, praktik buzzer kerap dinilai sebagai bentuk propaganda di era digital.
Pakar Komunikasi Digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan mengatakan keberadaan buzzer bisa saja disebut sebagai bentuk propaganda kontemporer, mengingat mekanisme maupun perangkat yang digunakan adalah hal-hal yang berlaku secara kontemporer di masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Buzzer bisa saja disebut sebagai bentuk propaganda kontemporer, mengingat mekanisme maupun perangkat yang digunakan adalah hal-hal yang berlaku secara kontemporer di masyarakat," ujar Firman kepada CNNIndonesia.com lewat pesan teks, Jumat (5/11) sore.
Firman menilai, isi propaganda tidak melulu objektif, namun biasanya dititikberatkan pada pembentukan pendapat agar sesuai dengan 'visi' pengirim pesan.
Komunikasi yang dilakukan oleh para buzzer dapat diperkuat dampaknya, melalui pengulangan konten atau bahasa yang lebih mudah dipahami. Hal itu bertujuan agar isi pesan diterima kebenarannya oleh pihak lain.
"Kemudian penerima pesan dapat berubah pendapat maupun perilakunya," pungkasnya.
Firman menjelaskan fungsi buzzer adalah memastikan bahwa pesan yang dikirim oleh produsen isu dapat diterima dengan tepat oleh audiens dengan latar belakang beragam.
Upaya yang dilakukan buzzer disebut dapat mempengaruhi opini penerima pesan. Itulah tujuan komunikasinya.
Firman menyebut ada hal yang tak benar dari praktik buzzer, yakni pembentukan opini dengan disinformasi atau misinformasi. Informasi disebar seolah benar, maka opini yang tergiring juga menjadi sesat.
"Buzzer yang menyesatkan itulah yang tidak dibenarkan," tuturnya.
Meski demikian Firman tak menampik bahwa praktik pendengung merupakan hal yang lazim dalam proses komunikasi.
Keberadaannya kerap digunakan untuk komunikasi pemasaran, komunikasi publik pemerintah, komunikasi politik, komunikasi kesehatan dan berbagai bentuk komunikasi lain.
Dalam teori yang yang disebut sebagai Two Step Flow of Communication, Firman menjelaskan tidak semua produsen pesan dapat mengirimkan pesannya dan langsung dipahami oleh audience.
Sebagai jalan keluarnya, perlu melibatkan penengah atau disebut sebagai Key Opinion Leader (KOL). Ia mengatakan KOL bertugas untuk menerjemahkan pesan dari produsen pesan ke pendengar dengan bahasa yang dapat diterima oleh audiens.
Saat ini Firman menilai praktik buzzer tak hanya aktif pada saat ada pesta politik saja. Namun masih bertebaran untuk menjalankan komunikasi politik dalam bentuk permanent campaign.
Ia menjelaskan komunikasi politik seperti itu bertujuan untuk mempertahankan dukungan. Namun tak harus menunggu momentum politik.
Masyarakat diminta paham bahwa pesan yang diterima dari dunia digital tak melulu berisi pesan yang apa adanya. Terlebih, isu tersebut didengungkan oleh para buzzer dengan menyebar misinformasi.
"Penerima informasi harus tahu persis ke mana arah komunikasi hendak ditujukan, opini apa yang sesungguhnya ingin dibentuk oleh pihak tertentu. Mengkritisi isi informasi adalah kunci," pungkas Firman.
Dengan maraknya praktik buzzer yang menyesatkan, Firman menyarankan untuk membangun daya kritis di masyarakat.
Ketika opini yang hendak dibentuk tak sesuai fakta dan tidak sesuai dengan perspektif audiens, maka harus ditolak. Firman mengatakan literasi merupakan jalan keluar dari maraknya pembentukan opini menyesatkan dari buzzer.
Simak struktur, fungsi, hingga pendapatan buzzer di halaman berikutnya..