Ahli Tanggapi Fenomena Influencer Beli atau Pinjam Barang Mewah
Sejumlah barang mewah milik influencer tengah ditelusuri kepemilikanya. Ada dugaan barang-barang mewah yang dimiliki influencer yang terseret kasus judi berkedok investasi merupakan pinjaman dari produsen atau distributor untuk perkuat konten.
Indra Kesuma alias Indra Kenz misalnya. Barang-barang mewah miliknya tengah ditelusuri izin kepemilikanya oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Whisnu Hermawan mengatakan penelusuran tersebut dilakukan untuk memastikan apakah barang mewah tersebut merupakan aset milik Indra, atau hanya bersifat pinjaman.
"Terkait barang-barang, yang jam tangan kemudian benda-benda berharga lainnya. Kami dalami apakah itu milik saudara IK atau dia bersifat minjam. Itu yang jadi aset, kami sita terkait IK," katanya kepada wartawan, Kamis (10/3).
Lantas bagaimana aturan semestinya diterapkan kepada para influencer, mengacu pada aturan berbagai negara yang sudah menerapkannya?
Pengamat budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan menjelaskan beberapa negara mengatur dengan ketat soal influencer, termasuk influencer media digital.
Seperti contohnya Federal Trade Commision Amerika Serikat mengatur siapa, apa dan bagaimana mekanisme kerja para influencer dalam aktivitas endorsement suatu produk.
"Tidak disebutkan secara spesifik produknya, namun pengaturannya lebih kepada perilaku endorsement," ujar Firman kepada CNNIndonesia.com, Jumat (11/3) lewat pesan teks.
Sedangkan beberapa negara lain di Uni Eropa, lanjut Firman, menekankan tentang aspek perpajakan terkait penghasilan yang diperoleh sebagai influencer.
Dia menjelaskan, umumnya aturan ini menginduk pada ketentuan tentang periklanan komersial secara general. Kemudian dikaitkan dengan perkembangan di ekosistem media digital.
Jika terbukti influencer banyak 'dipinjamkan' produk oleh para produsen, Firman tak menampik para konsumen akan melihat lebih jeli produk yang ditawarkan. Terlebih produk yang ditawarkan para influencer itu dalam bentuk investasi ataupun treding. Pubik tentu akan mencurigai ajakan influencer jika mempromosikan produk investasi.
"Bahkan untuk produk investasi, calon investor akan jauh ekstra curiga, menghadapi ajakan influencer," tutur Firman.
Bukan hal tabu lagi ketika produk investasi dewasa ini berpotensi merugikan masyarakat. Contohnya saja platform judi saat ini banyak yang dibalut dengan 'topeng' investasi ini kian nyata mengakibatkan kerugian yang besar.
Sementara, Firman menilai para influencer yang mempromosikan produk judi itu pamer hidup mewah di hadapan publik.
Meskipun masalah menimpa sejumlah influencer dalam negeri, namun Firman tak menampik peran mereka masih diperlukan untuk sebagai penyambung lidah kepada masyarakat.
Seperti contohnya dalam penyampaian informasi terkait vaksinasi. Penyampaian informasi lebih lewat influencer dinilai Firman masih tetap diperlukan.
(can/mik)