4 Masalah Program TV Digital, Warga Tak Paham hingga Jumlah Channel
Sejak rencana program migrasi televisi digital didengungkan, terdapat banyak persoalan yang hingga kini belum terselesaikan di masyarakat.
Suntik mati tv analog ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kominfo Nomor No. 6 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran dan Perubahannya. Pemerintah membagi analog switch off atau ASO ke dalam tiga tahap.
Tahap pertama telah digelar pada 30 April, kedua 25 Agustus di 31 wilayah siaran yang meliputi 110 kabupaten/kota dan tahap ketiga pada 2 November di 25 wilayah siaran yang meliputi 65 kabupaten/kota.
Jumlah Lembaga Penyiaran yang bersiaran secara analog saat ini mencapai 697 Lembaga Penyiaran di seluruh Indonesia. Siaran secara simulcast telah dimulai sejak 2019 dan saat ini dilakukan oleh 521 Stasiun TV untuk mencakup 90 Wilayah Siaran atau 294 kabupaten dan kota.
Dalam pelaksanaannya program ini terbentuk sejumlah masalah.
Pertama yang dihadapi yakni banyak warga daerah yang salah paham dengan program migrasi televisi analog ke televisi digital tersebut. Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari, dalam Rapat Kerja bersama Menteri Komunikasi dan Informatika di Kompleks Parlemen.
Menurut Abdul Kharis, masyarakat masih menganggap ASO sebagai program berbayar. Seperti yang dialami Hasanudin, tokoh masyarakat di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).
Diketahui, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, jadi salah satu dari 166 kabupaten/kota yang masuk tahap satu suntik mati TV analog pada 30 April lalu.
"Belum, saya belum tahu, belum ada sosialisasinya. Kapan dimulainya kami belum tahu. Kalau [TV Analog] dimatikan, [warga] Sepaku kebingungan juga," kata dia, kepada CNNIndonesia.com, Kamis (21/4).
Menurut Hasanudin, mayoritas masyarakat di daerahnya sudah menggunakan TV kabel di rumah untuk menyaksikan siaran. Sebab itu, ia khawatir migrasi analog ke digital bisa mempengaruhi tayangan televisi di rumahnya.
"Saya di rumah pakai TV kabel, tidak pakai antena. Di sini juga jarang orang yang pakai antena, banyaknya pakai Matrix [Parabola]. Tapi, tetap juga sinyal kadang bagus kadang hilang," imbuhnya.
Masalah kedua, yakni di mana masih banyak warga yang tak tahu soal tenggat suntik mati siaran analog. Menurut Abdul Kharis, masalah kedua terjadi karena minimnya sosialisasi terkait program ASO.
"Ketika saya tanyakan kepada masyarakat, mereka terkejut kalau bulan November 2022 siaran televisi analog akan berhenti dan diganti dengan siaran televisi digital," ungkap Abdul, yang merupakan politikus PKS itu.
Ketiga, izin siaran digital juga dinilai terlalu mahal bagi televisi lokal. Izin sewa saluran TV digital dibayar lewat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipungut TVRI.
Biaya ini disamaratakan di seluruh daerah. Padahal, kemampuan televisi lokal disebut tak sebanding dengan TV nasional.
Anggota Komisi I DPR RI Nico Siahaan menyebut, pemasukan tv lokal dari iklan tidak sama dengan tv nasional. Sementara, harga yang ditetapkan oleh pusat itu hampir sama sekitar Rp25 jutaan per bulan yang bisa menyerap Rp250 sampai Rp300 juta per tahun TV swasta yang dirasa sangat memberatkan tv lokal.
"Di daerah mereka [stasiun TV lokal] menjerit. Jadi kami harus mencari jalan tengah, artinya supaya PNBP tetap jalan, tetapi di bawah pun tidak merasa kayak terzalimi," ujar Wakil Ketua Komisi I DPR Bambang Kristiono, berdasarkan kunjungan kerjanya ke Maluku Utara, beberapa waktu lalu.
Keempat, yang juga menjadi masalah dalam program ASO adalah jumlah channel yang masuk di tv digital. Masyarakat banyak yang menanyakan apakah jumlah channel yang mereka terima sama dengan sebelum menggunakan tv digital.
(ttf/mik)