Cerita 'Pemain Bola Sekaligus Wasit' di Lapangan PSE Kominfo

CNN Indonesia
Jumat, 22 Jul 2022 14:35 WIB
Ilustrasi. Aturan PSE disebut potensial abuse of power di dunia siber.(Foto: Istockphoto/ iLexx)
Jakarta, CNN Indonesia --

Aturan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat dinilai terlalu luas dan berpotensi penyalahgunaan wewenang. Ini dituding menempatkan Kementerian Komunikasi dan Informatika bak pemain sekaligus wasit.

Diketahui, PSE Kominfo ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 5 2020 tentang PSE Lingkup Privat. Aturan ini memberi kewenangan kepada aparat untuk meminta informasi apapun kepada Google dan WhatsApp, misalnya.

"Ketika yang mengakses ini adalah pemerintah, kemudian untuk yang mengawasi, misal, tidak memakai izin dari pengadilan juga adalah pemerintah, khususnya nanti ketika otoritas PDP (perlindungan data pribadi)-nya yang masih sedang dibahas, tapi ada tendensi akan di bawah pemerintah," ujar Peneliti Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) Alia Yofira dalam diskusi publik bertajuk #BlokirKominfo di Twitter Space, Rabu (20/7).

"Siklus ini jadi kayak orang main bola tapi juga jadi wasitnya," imbuhnya.

Pernyataan dari Alia ini dilontarkan untuk menjawab pertanyaan salah seorang peserta diskusi yang merasa ada penyalahgunaan kekuasaan di ruang digital.

Diskusi publik yang berlangsung di Twitter Space pada Rabu (20/7) itu bertujuan untuk mengkritik aturan PSE Lingkup Privat yang mewajibkan perusahaan teknologi yang beroperasi di Indonesia untuk mendaftar ke Kominfo.

Diskusi terbuka yang berlangsung hampir tiga jam ini dihadiri sekitar 14.700 orang mulai dari warga biasa, aktivis siber, aktivis HAM, jurnalis, hingga perwakilan Kominfo.

Pada diskusi ini, bagian paling disorot adalah beberapa pasal karet karena rentan penyalahgunaan lewat diksi-diksi yang abu-abu seperti terkait pemblokiran terhadap konten "mengganggu ketertiban umum" dan "meresahkan masyarakat."

Alia mengatakan pasal yang mengandung frasa yang tak ada penjelasannya ini tercantum pada pasal 9 ayat (3) dan (4) serta pasal 14 ayat (3).

Tak cuma itu, fungsi pengawasan yang terdapat di pasal 21 Bab 5 tentang pemberian akses terhadap sistem elektronik dan/atau data elektronik untuk kepentingan pengawasan dan penegakan hukum pidana.

Menurut Alia, fungsi pengawasan di pasal tersebut sangat luas dan karet. Sementara, RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) belum disahkan.

Saat ini, Alia menuturkan perlindungan terhadap data pribadi masih bersifat sektoral dan tumpang tindih. "Akibatnya menciptakan ketidakpastian hukum terhadap kita selaku subyek data," katanya.

Karena minim perlindungan itulah, Alia menyebut kemungkinan penyalahgunaan wewenang sangat tinggi. Apalagi, otoritas PDP nantinya berpotensi menjadi bagian dari pemerintah.

"Permasalahannya otoritas PDP berdasarkan RUU PDP disematkan sebagai bagian fungsi kementerian. Otomatis pemerintah mengawasi dirinya sendiri, abuse of power sangat tinggi terjadi," ujar Alia.

Lebih lanjut menurut Alia, idealnya subyek data dalam Permenkominfo mendapat pemberitahuan jika datanya diakses oleh lembaga atau kementerian. "Namun itu tidak diatur dengan jelas secara eksplisit. Jadi yang dilakukan Permenkominfo akan sangat gelap dan tidak transparan," ujarnya.

Pakar keamanan siber sekaligus pendiri Ethical Hacker Indonesia Teguh Aprianto yang juga menjadi host dalam diskusi tersebut mengatakan gerakan bertajuk #BlokirKominfo ini akan terus berlanjut hingga akhirnya Permen tersebut dicabut.

Menanggapi kritik soal pasal ini, Plt. Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Teguh Arifiadi menyebut Permenkominfo 5/2020 sangat berkaitan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019.

"Kalau di PM (Peraturan Menkominfo) 5 dihapus tapi di PP 71 tidak, malah tidak ada guidance-nya nanti," dalihnya, dalam diskusi tersebut.

(lom/lth/arh)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK