Bjorka Kirim Kripto ke Pemuda Madiun, Celah Pelacakan?
Pembocor data Bjorka disebut membeli channel Telegram dari warga Indonesia senilai US100 dalam bentuk mata uang kripto. Mungkinkah ini jadi petunjuk melacaknya?
Tersangka kasus pembantu Bjorka, Muhammad Agung Hidayatullah alias MAH (21) sebelumnya mengaku merupakan pembuat channel (semacam) Telegram Bjorkanism. Channel itu kemudian dibeli oleh Bjorka seharga US100 dalam bentuk Bitcoin.
Melalui channel itu, MAH, yang mengaku tak pernah belajar tentang peretasan (hacking) atau pun pengkodean (coding), mengunggah ulang beberapa postingan asli Bjorka.
"Saya coba posting yang 'stop being idiot', langsung banyak yang suka. Besoknya lagi bocorin surat presiden itu. Dia pasti ngasih tau di grup private itu sebelum ke publik," ujarnya, sat ditemui di rumahnya, Madiun, Jawa Timur, Sabtu (17/9).
Kenapa membuat channel Bjorka?
"Saya lihat, wah, Bjorka ini bagus sih, ngefans lah. Penasaran terus lama-lama ngefans, soalnya yang dibocorin itu kan data-data pemerintah Indonesia, itu gimana," aku dia.
MAH tak menyangka channel buatannya itu disukai ribuan orang. Hingga pada akhirnya Bjorka tertarik untuk membelinya.
Lihat Juga : |
"Pake telegram, dia kasih pengumuman di grup privasi dia, 'yang pegang channel ini [channel buatan MAH] DM saya, saya kasih 100 dolar'. Langsung saya DM," ucapnya menirukan pesan Bjorka.
"Setelah itu saya jual, cuma saya masih di situ, karena belum sempat transfer kepemilikan grup. Dibeli 100 dolar sekitar Rp1,5 juta, bentuk BitCoin," sambung dia.
Hanya beberapa hari setelah itu, ia pun ditangkap oleh pihak kepolisian. Ia juga dibawa ke Mabes Polri di Jakarta. Namun setelah dua hari MAH dilepaskan, dengan status tersangka melekat padanya.
Kini MAH pun mengakui kesalahannya dan menyampaikan permohonan maaf kepada pemerintah dan polisi.
"Saya mengaku salah dan mohon maaf kepada pemerintah dan polisi," kata Agung, yang merupakan lulusan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) itu.
Platform intelijen darkweb DarkTracer mengungkapkan salah satu cara melacak peretas Bjorka, yakni menggunakan mata uang kripto.
"Ini adalah dompet cryptocurrency Bjorka. Ada transaksi di dompet bitcoin-nya. Ini bisa membantu melacaknya," kicau dia, di akun @darktracer_int, Senin (12/9).
Ia juga mengunggah link atau tautan yang merujuk ke transaksi Bjorka serta tangkapan layar jalur transaksinya. Link tersebut memperlihatkan penjelasan mengenai dua transaksi yang diduga dilakukan Bjorka.
"Alamat ini telah bertransaksi 2 kali di blockchain Bitcoin. Ia telah menerima total 0,00263008 BTC ($58,52) dan telah mengirim total 0,00263008 BTC ($58,52). Nilai saat ini dari alamat ini adalah 0,000000000 BTC ($0,00)," tulis keterangan di situs tersebut.
Pada laman tersebut juga terdapat keterangan tanggal transaksi terakhir, yaitu pada Jumat (2/9). Transaksi tersebut menghabiskan fee 0.00018984 BTC atau sekitar US$4,22 (Rp62 ribu).
Meski demikian, Darktracer tidak menjelaskan dengan rinci bagaimana transaksi kripto tersebut dapat digunakan untuk melacak Bjorka.
Merespons kicauan itu, Bjorka, sebelum akun Twitter-nya dihapus, sempat berkomentar, "Semoga sukses". Kicauan DarkTracer itu sudah dihapus meskipun tautan transaksi itu masih bisa diakses.
Perusahaan analis transaksi kripto Chainalysis Inc. mengakui sudah membuktikan efektivitas penelusuran ini dalam kasus dompet kripto scammer Twitter.
"Jenis investigasi semacam itu dapat sangat bermanfaat dalam mengidentifikasi apa yang dibeli dan siapa mereka," kata salah satu pendiri Chainalysis, Jonathan Levin.
Masalahnya, hacker dan penipu online biasanya memindahkan uang itu lewat ratusan atau bahkan ribuan transaksi untuk menyamarkan tujuan akhir. Mereka juga mungkin mengendalikan puluhan dompet kripto lain dan memindahkan uangnya bolak-balik.
Jenis perangkat lunak tertentu yang disebut "mixer" dapat membantu hacker melakukan transaksi jenis ini. Bitcoin akan dipecah dalam banyak transaksi yang lebih kecil, dan "mencampurnya" dengan transaksi dari orang lain. Mereka akan mendapatkan kembali jumlah yang sama, tetapi itu bukan bitcoin yang sama percis.
"Cukup sulit untuk menguangkannya," kata Tom Robinson, salah satu pendiri Elliptic, perusahaan analisis data kripto, "Semuanya terlihat di blockchain. Tapi ada hal-hal yang bisa mereka lakukan [untuk menyamarkannya]."
(frd/arh)