Elon Musk Klaim Perangi Ujaran Kebencian Twitter, Aktivis HAM Percaya?
Sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan optimistis dengan komitmen sensor Twitter di bawah kepemimpinan Elon Musk meski tetap waspada.
Pernyataan tersebut meluncur setelah sejumlah perwakilan organisasi HAM bertemu dengan Musk.
Sebelumnya, Musk, yang berulangkali menggaungkan 'free speech' dan membela mantan Presiden AS Donald Trump yang provokatif, mengklaim tidak akan membuat keputusan moderasi konten yang penting sendirian dan akan melibatkan pihak lain.
"Dewan moderasi konten Twitter akan memasukkan perwakilan yang memiliki beragam pandangan berbeda, yang pastinya akan memasukkan komunitas aktivis HAM dan kelompok yang mendapat ujaran kebencian," kicau miliarder kelahiran Afrika Selatan itu, via akun @elomusk, Rabu (2/11).
Kemudian dalam cuitan lain Musk menyebut dirinya sudah melakukan pertemuan dengan sejumlah perwakilan organisasi pembela HAM dan kelompok minoritas.
Yakni, Jonathan Greenblatt, CEO Anti-Defamation League; Yael Eisenstat, vice president Anti-Defamation League; aktivis HAM Rashad Robinson, presiden Color of Change;
Jessica J. González, advokat isu rasial yang juga co-CEO Free Press; Norman Chen, CEO The Asian American Foundation; Derrick Johnson, pengacara HAM CEO Asosiasi Nasional untuk Kemajuan Orang Kulit Berwarna (NAACP); Ken Hersch (tanpa rincian); Sindy Benavides, CEO Liga Warga Amerika Latin Bersatu (LILAC); dan The Bush Center milik mantan Presiden AS George W. Bush.
Kami, kata Musk, bicara "tentang bagaimana Twitter akan melanjutkan untuk memerangi kebencian & pelecehan & menegakkan kebijakan integritas pemilihannya."
Usai pertemuan dengan Musk, dikutip dari TechCrunch, CEO ADL Jonathan Greenblatt menyatakan dirinya "optimistik tapi tidak sepenuhnya" dengan komitmen Musk tersebut.
Sebelumnya, Greenblatt sendiri cukup vokal melontarkan kritik usai Musk menjabat sebagai Bos Twitter.
"Kami khawatir bahwa akuisisi Twitter oleh Musk dapat mempercepat apa yang telah dilihat ADL berulang kali: mendorong komunitas terpinggirkan dari media sosial," tulisnya dalam sebuah pernyataan pada Kamis (27/10), seperti dikutip situs ADL.
"Seperti Telegram, Gab, Parler, Rumble, dan platform lain yang menolak untuk menangani hasutan dan fitnah atas nama kebebasan berbicara, platform semacam itu telah menjadi sarang radikalisme dan kebencian. Ini selalu mengurangi keragaman pandangan pada layanan ini dan malah mempersempit daripada memperluas percakapan publik," lanjutnya.
Senada, Jessica J. González yang menyebut komitmen Musk adalah sebuah awal yang baik. Namun, katanya, butuh waktu untuk membuktikannya.
"Komitmen ini adalah langkah pertama yang baik tetapi sebenarnya hanya awal dari proses yang panjang," tulisnya dalam sebuah pernyataan.
"Seperti yang ditunjukkan oleh laporan Free Press minggu lalu, teori kebencian, pelecehan, dan konspirasi merajalela di Twitter. Masih banyak yang harus dilakukan untuk menjadikan Twitter sebagai ruang untuk dialog yang kuat dan sehat," tambahnya.
Lebih lanjut, dewan moderasi konten yang dibuat Musk nantinya akan membahas sejumlah isu, seperti pemblokiran akun mantan Presiden AS Donald Trump yang disebut Musk sebagai sebuah kesalahan.
Sebelumnya, usai akuisisi Twitter oleh Elon Musk, ujaran kebencian rasial dan kelompok minoritas dilaporkan meningkat pesat. Namun, Musk memastikan kebijakan Twitter belum berubah dan memangkas kicauan-kicauan hate speech itu.
(lom/arh)