Sempat menuai drama penolakan dari grup stasiun televisi, program pemadaman siaran TV analog (Analog Switch Off/ASO) bukanlah kebijakan kemarin malam. Prosesnya terbentang sejak periode pertama Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga kini.
Diketahui, bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo, meski memadamkan siaran analog stasiun-stasiun televisinya, keberatan dengan program ASO ini dengan dalih merugikan rakyat, warga tak siap, hingga bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dikutip dari laman Kominfo, program ASO ini dimulai di era Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil (2004-2007) dengan mengeluarkan Peraturan Menkominfo No. 07/P/M.KOMINFO/3/2007 tentang Standar Penyiaran Digital Terestrial untuk Televisi Tidak Bergerak di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, aturan yang terdiri dari tiga halaman ini baru memuat lima keputusan. Termasuk, soal rencana induk (master plan) frekuensi penyiaran digital terestrial, standardisasi perangkat penyiaran digital terestrial, dan jadwal proses pelaksanaan migrasi dari sistem penyiaran analog dan digital secara bersamaan (simulcast).
"Semua Lembaga Penyiaran jasa televisi terestrial di Indonesia serta industri dan perdagangan terkait dapat mulai mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan peralihan (migrasi) dari sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran digital," demikian bunyi salah satu poin aturan yang ditandatangani 21 Maret 2007 itu.
Mulai awal 2012, Indonesia melalui Peraturan Menteri Kominfo No. 5 tahun 2012 tentang Standar Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free-To-Air), Pemerintah mengadopsi standar penyiaran televisi digital terestrial Digital Video Broadcasting - Terrestrial second generation (DVB-T2).
Ini merupakan pengembangan dari standar digital DVB-T yang sebelumnya ditetapkan pada 2007. Sebelum menetapkan standar digital tersebut, pemerintah mengklaim terlebih dahulu melakukan kajian dan konsultasi publik dengan melibatkan para stakeholders terkait.
"Penyiaran televisi digital terrestrial adalah penyiaran yang menggunakan frekuensi radio VHF/UHF seperti halnya penyiaran analog, akan tetapi dengan format konten yang digital," demikian dikatakan rilis Kominfo pada 2013.
Tifatul Sembiring, Menkominfo periode 2009-2014, mengatakan, peralihan dari TV analog ke digital berdampak pada efisiensi spektrum frekuensi yang akhirnya bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan masyarakat.
"Ada digital dividen, sisa kelebihan spektrum karena kita beralih ke digital. Nah, ini bisa digunakan untuk komunikasi data, internet, dan lainnya," ujar dia, dikutip dari Antara, Minggu (6/11).
"Dari sisi logika, mulai dari teknologi, efisiensi, kualitas (televisi digital) sudah jelas," imbuhnya.
"Kemudian, dari sisi efisiensi power listrik. Untuk masyarakat sebagai pengguna, TV analog itu (dayanya) 200 watt. Sedangkan TV digital cuma 40-60 watt. Selain itu, sisi kualitas gambar dan suara pun bening. Jadi lebih bagus untuk dinikmati masyarakat," sambung politikus PKS ini.
Di era Tifatul, Peraturan Menteri Kominfo No 22/PER/M.Kominfo/11/2011, tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar dibatalkan Mahkamah Agung.
Kominfo era Tifatul pun mewariskan program ini kepada Menkominfo selanjutnya, Rudiantara, dalam kondisi nyaris kekosongan hukum. Sempat menargetkan penuntasan migrasi saluran TV analog dari frekuensi 700 Mhz itu pada 2018, Kominfo kembali bertepuk sebelah tangan. RUU Penyiaran yang mandek di DPR menjadi salah satu pemicunya.
Kebijakan ASO di era Plate di halaman berikutnya...