Pakar Stanford Temukan 'Obat' Anosmia Long Covid: Darah Pasien
Ahli dari Universitas Stanford, Zara Patel, menemukan cara melawan anosmia atau hilangnya penciuman pada pasien Long Covid-19. Uniknya, 'obat' anosmia itu dibuat memanfaatkan plasma darah pasien itu sendiri.
Patel dan timnya melakukan pengujian perawatan baru untuk pasien Long Covid-19 yang menderita anosmia. Perawatan itu menggunakan plasma kaya trombosit yang diturunkan dari darah pasien sendiri.
Ada 26 pasien Long Covid-19 yang menjadi eksperimen Patel. Setengah dari pasien itu menerima suntikan plasma kaya trombosit pada bagian dalam rongga hidungnya setiap dua atau enam pekan sekali.
Sementara, setengah pasien lainnya menerima suntikan plasebo pada bagian yang sama. Hasilnya, seperti dikutip situs resmi Stanford University, kondisi pasien yang menerima perawatan itu 12,5 kali akan lebih baik daripada pasien yang menerima suntikan plasebo.
Hasil penelitian Patel itu telah dipublikasikan pada 12 Desember lalu di International Forum of Allergy and Rhinology.
Plasma kaya trombosit sendiri adalah bentuk plasma terkonsentrasi, bagian cair darah, dengan sel darah dan komponen darah lainnya dihilangkan. Plasma ini dikenal dapat membantu regenerasi jaringan.
Plasma kaya trombosit juga telah diakui untuk mengobati radang sendi ringan saat disuntikkan ke persendian, mengurangi kerutan saat digunakan di wajah, dan bahkan menumbuhkan kembali rambut saat disuntikkan ke kulit kepala.
Awalnya, Patel skeptis terhadap penyembuhan semacam itu. Namun, ia tertarik dengan penelitian yang menunjukkan suntikan plasma kaya trombosit sama efektifnya dengan operasi untuk mengobati CTS atau carpal tunnel syndrome.
Penyakit terakhir disebabkan oleh kompresi dan cedera saraf di pergelangan tangan.
Ia menyadari anosmia pada pasien Long Covid-19 juga merupakan masalah saraf (neurologis). Maksudnya, efek jangka panjang dari virus Covid-19, mencegah saraf jauh di dalam rongga hidung beregenerasi dengan benar.
Lihat Juga :101 SCIENCE Kenapa Air dan Minyak Tak Bisa Menyatu? |
Saraf ini disebut terhubung ke otak dan biasanya beregenerasi setiap tiga hingga empat bulan.
Lebih lanjut, Patel mengatakan, meskipun hasil studinya tidak mengevaluasi kehilangan indra perasa, pulihnya kemampuan mencium bau akan membantu masalah tersebut.
"Orang-orang mengatakan kepada saya setiap waktu bahwa mereka tidak pernah menyadari betapa pentingnya kemampuan mencium dan merasakan untuk kualitas hidup mereka," kata Patel yang juga seorang Profesor Otolaringologi.
Penyebab hilangnya penciuman
Terpisah, peneliti dari Harvard Medical School, Sandeep Robert Datta menuturkan kehilangan kemampuan penciuman "mungkin berkaitan dengan kerusakan imun yang berlangsung pada sel saraf olifaktori dan punya kaitan dengan penurunan jumlah sel tersebut".
"Berdasarkan hasil ini, kami berhipotesis bahwa hilangnya dukungan jangka pendek menyebabkan hilangnya penciuman sementara, sementara infeksi yang lebih persisten menyebabkan gangguan yang lebih dalam pada fungsi penciuman yang membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih," jelas Datta, seperti dikutip dari situs Harvard University.
Datta dan timnya menemukan penyusupan sel T secara luas terlibat dalam respons peradangan pada epitel penciuman. Selain itu, proses peradangan ini terus berlanjut meskipun tidak ada SARS-CoV-2 yang terdeteksi di tubuh pasien.
Kemudian, jumlah neuron sensorik penciuman berkurang, mungkin karena kerusakan jaringan halus akibat peradangan yang sedang berlangsung.
"Pada dasarnya, sistem kekebalan berada di hidung - ada pengayaan subset sel T yang biasanya tidak hidup di sana," kata Datta.
"Ini konsisten dengan gagasan bahwa reaksi kekebalan yang terus-menerus adalah bagian dari apa yang menyebabkan hilangnya penciuman dalam jangka panjang," tambahnya.
(lom/lth)