Institut Teknologi Bandung (ITB) merayakan peringatan 100 tahun didirikannya observatorium riset Bosscha pada Senin (30/1). Observatorium ini sempat menjadi yang paling modern di eranya.
Pengurus observatorium Bosscha, Yatny Yulianty mengklaim observatorium Bosscha telah berkontribusi pada pengembangan astronomi dan sains di Indonesia bahkan dunia.
"Observatorium Bosscha tetap tegak dan berfungsi dalam usianya yang 100 tahun sebagai observatorium astronomi yang aktif berkontribusi pada pengembangan ilmu astronomi dan pendidikan sains untuk masyarakat," kata dia dalam keterangannya, Senin (30/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga :![]() 101 SCIENCE Kenapa Petir Bentuknya Tidak Lurus? |
Di samping itu Yatny menilai Bosscha merupakan observatorium yang berlokasi dekat dengan ekuator, sehingga menguntungkan dalam pemantauan langit yang dicakup.
"Posisi Observatorium Bosscha yang dekat ekuator ke arah Selatan amat menguntungkan dalam area langit astronomis yang dapat dicakup," ujarnya.
Sejarah berdirinya Observatorium Bosscha, kata dia, dimulai pada 1920 yang dibangun oleh Nederlands Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) yang diprakarsai dan dipimpin oleh K. A. R. Bosscha.
Pembangunan kawasan ini bertujuan untuk menghimpun sumber daya, pemikiran dan persiapan untuk mendirikan pengamatan astronomi.
Sehingga pada 1 Januari 1923 Observatorium Bosscha diresmikan dan menjadi perintis astronomi modern di Asia Tenggara dengan mengambil astrofisika bintang sebagai topik riset utama.
Lebih lanjut ia menjelaskan Bosscha pada saat didirikan dilengkapi dengan teleskop refraktor ganda Zeiss, yang menjadikan observatorium ini terbesar ketiga dan termodern di bumi bagian Selatan pada era itu.
Refraktor ganda Zeiss adalah teleskop paling besar yang ada di Observatorium Bosscha.
Teleskop ini adalah jenis teleskop refraktor buatan Carl Zeiss Jena, sebuah pabrik pembuat alat optik terkenal di kota Jena, Jerman. Refraktor berarti bahwa teleskop tersebut menggunakan lensa untuk mengumpulkan cahaya.
Lantaran sempat terbengkalai selama Perang Dunia Kedua, Bosscha diserahkan ke Republik Indonesia pada 1951. Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA) Universitas Indonesia yang kemudian jadi FMIPA ITB lah yang dipercaya mengelola kawasan riset pemantauan langit.
Yatny menjelaskan momentum peringatan 1 abad Observatorium Bosscha menjadi kesempatan untuk mendengarkan aspirasi para pemangku kepentingan tentang masa depan peneropongan benda langit.
Lihat Juga :101 Science Di Mana Ujung Pelangi? |
Terpisah, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ismail meminta Bosscha menjadi pemantik kepada generasi muda untuk memikirkan riset di bidang satelit.
"Kami berharap dari Bosscha ini memberikan trigger dan pemicu kepada mahasiswa dan peneliti untuk mulai memikirkan adanya suatu riset yang berkesinambungan di bidang persatelitan," ujar Ismail dalam perayaan 100 tahun Bosscha, Senin (30/1).
Ia menjelaskan ilmu soal satelit bukan menjadi benda ruang angkasa yang rumit, karena sudah ada teknologi nano satelit yang punya kemampuan yang tidak kalah dengan satelit orbit rendah (LEO) dan satelit orbit tinggi (GEO).
(can/lth)