Pakar Ungkap Percakapan soal Lingkungan Masih Terkubur Isu Politik
Percakapan publik mengenai isu lingkungan, termasuk masalah pemanasan global atau perubahan iklim, disebut hanya 27 persen, terpaut jauh dengan isu politik.
Associate Professor Monash University Indonesia Ika Idris menilai perlu terobosan baru dalam menyampaikan isu krisis iklim yang banyak dipolitisasi.
"Riset saya menunjukkan bahwa tema percakapan terkait lingkungan hanya sekitar 27 persen, sisanya membincangkan tema yang lain," ujar dia dalam keterangan tertulis, Kamis (23/2).
Selain itu, percakapan terkait korban dari dampak kerusakan lingkungan juga hanya 12,2 persen. Sisanya tentang kandidat politik dan pemerintah pusat.
"Saat membicarakan lingkungan, sentimen yang muncul masih dominan positif dimana ada pemakluman atas kerusakan lingkungan yang terjadi karena negara butuh memenuhi kebutuhan energi masyarakat," demikian dikutip dari siaran pers itu.
Studi ini sendiri dilakukan pada 2019 usai ramainya film dokumenter yang dirilis di media sosial menjelang pemilihan presiden.
Pusat studi komunikasi perubahan iklim Monash University menilai isu perubahan iklim masih terbilang sulit dipahami dan menarik perhatian masyarakat.
"Bukannya selama ini tidak ada gerakan untuk menyadarkan masyarakat dan mendorong pemerintah, namun dampak dari strategi yang selama ini dilakukan aktivis lingkungan di tingkat lokal maupun afiliasi internasional belum mampu mendorong perubahan di level struktural," tutur Ika.
Menurutnya masyarakat pada saat membicarakan lingkungan, sentimen yang muncul masih dominan positif di mana ada pemakluman atas kerusakan lingkungan yang terjadi karena negara memenuhi kebutuhan energi masyarakat.
Padahal, kata dia, literasi ihwal perubahan iklim dinilai penting. Semenjak sepuluh tahun lalu, kekhawatiran masyarakat global akibat dampak perubahan iklim meningkat.
Hal ini juga terungkap dari hasil riset Pew Research Centre, Global Attitudes Survey 2018. Bahwa, dampak dari perubahan iklim sudah sangat nyata dan terasa.
Namun, dampak perubahan iklim ini masih saja menjadi perdebatan yang dipolitisasi; apakah ini merupakan dampak dari perilaku manusia, atau sudah alamiah terjadi.
Monash Climate Change Communication Research Hub (MCCCRH) menilai pentingnya literasi iklim sekaligus meminta tak ada politisasi isu perubahan iklim.
Direktur MCCCRH Associate Professor Ilmu Komunikasi dan Media David Holmes mengatakan pendekatan yang dilakukan institusinya bukanlah advokasi, melainkan komunikasi non-persuasi.
Artinya, kata Holmes, komunikasi berisi fakta yang mudah dipahami masyarakat umum. Komunikasi ini juga dilakukan berulang-ulang, dikomunikasikan oleh sumber yang dipercaya, dan menargetkan khalayak luas karena menggunakan beragam kanal.
MCCCRH juga menilai khalayak yang mendapati informasi non-persuasif tersebut menunjukkan peningkatan perhatian pada perubahan iklim sebesar 2,8 persen.
Sementara yang tidak terpapar informasi menunjukkan 4,8 persen penurunan perhatian pada perubahan iklim.
"Berbicara perubahan iklim, tidak mungkin hanya pada tataran lokal, melainkan global," tandas David.
(can/arh)