Salah Kaprah, Mesir Kuno Ubah Jasad Jadi Mumi Bukan untuk Diawetkan

CNN Indonesia
Senin, 06 Mar 2023 11:33 WIB
Orang Mesir kuno mengubah jasad menjadi mumi bukan untuk diawetkan. Lantas buat apa?
Ilustrasi. Orang Mesir kuno menerapkan metode mumifikasi bukan untuk mengawetkan jasadnya.(REUTERS/FLAVIO LO SCALZO)
Jakarta, CNN Indonesia --

Mengawetkan jenazah kerap disangka sebagai tujuan orang Mesir kuno mengubah jasad orang yang meninggal menjadi mumi. Padahal, mereka melakukannya untuk tujuan lain.

Peneliti dari Manchester Museum, di University of Manchester, Inggris, menyoroti kesalahpahaman umum itu sebagai bagian dari persiapan pameran yang disebut "Mumi Emas Mesir" di awal 2023.

Pameran museum itu mengungkapkan teknik penguburan mumifikasi sebenarnya adalah cara membimbing mendiang menuju keilahian, bukan untuk mengawetkan jenazah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemahaman baru tentang tujuan mumifikasi ini pada dasarnya menjungkirbalikkan banyak hal yang diajarkan kepada sebagian besar manusia tentang mumi.

Campbell Price, kurator museum Mesir dan Sudan, mengatakan kesalahpahaman ini berkembang begitu lama.

Ia mengatakan gagasan yang dibawa Barat itu dimulai oleh para peneliti era Victoria, yang salah menentukan orang Mesir kuno mengawetkan mayat dengan cara yang sama seperti mengawetkan ikan. Hal itu lantaran penggunaan garam pada proses mumifikasi.

"Idenya adalah Anda mengawetkan ikan untuk dimakan di masa mendatang. Jadi, mereka beranggapan bahwa apa yang dilakukan pada tubuh manusia sama dengan perlakuan terhadap ikan," kata Price dikutip LiveScience.

Namun, menurut Price, zat asin yang digunakan oleh orang Mesir kuno berbeda dengan garam yang digunakan untuk mengawetkan tangkapan ikan. Orang Mesir Kuno menggunakan zat bernama natron.

Natron dikenal sebagai mineral alami, yang merupakan campuran natrium karbonat, natrium klorida, dan natrium sulfat. Kandungan itu berlimpah di sekitar dasar danau dekat Sungai Nil dan berfungsi sebagai bahan utama dalam mumifikasi.

"Kita juga tahu bahwa natron digunakan dalam ritual kuil [dan diterapkan pada] patung dewa. Itu digunakan untuk pembersihan," kata dia.

Price mengatakan bahan lain yang biasa diasosiasikan dengan mumi adalah dupa (incense) yang juga berfungsi sebagai hadiah untuk para dewa.

"Lihatlah kemenyan ada dalam kisah Kristen tentang Yesus dan merupakan hadiah dari tiga orang bijak," kata Price.

Dalam sejarah Mesir kuno, Price menemukan kemenyan dan dupa juga merupakan hadiah yang layak untuk para dewa.

Bahkan, kata dupa, dalam bahasa Mesir kuno adalah senetjer dan secara harfiah berarti 'teruntuk ilahi.' Pembakaran dupa di kuil pun, kata dia, terbilang tepat karena kuil merupakan rumah dewa dan membuat ruang menjadi sakral.

Namun, lanjutnya, ketika Anda menggunakan resin dupa pada tubuh, Anda membuat tubuh dan menjadi makhluk yang saleh. "Anda belum tentu mengawetkannya," ucap dia.

Kesalahpahaman berikutnya adalah tentang kepercayaan bahwa orang Mesir kuno yang meninggal butuh tubuh di akhirat.

"Ada obsesi biomedis yang lahir dari ide di era Victoria tentang perlunya tubuh lengkap [sebagai bekal] di akhirat," kata Price.

Baginya, hal itu lebih terkait kepercayaan kuno tentang mengubah tubuh menjadi [patung] dewa.

"Saya pikir itu sebenarnya memiliki arti yang lebih dalam, dan pada dasarnya tentang mengubah tubuh menjadi patung dewa karena orang mati telah diubah," jelas Price.

Kesalahpahaman selanjutnya adalah soal sarkofagus atau peti mati yang menunjukkan rupa almarhum.

"Dalam bahasa Inggris, topeng adalah sesuatu yang mengaburkan identitas Anda; potret mengungkapkan identitas," kata Price.

Sementara, kata Price, pahatan wajah pada sarkofagus, dikutip dari The Guardian, berarti "Objek, panel, dan topeng yang memberikan gambaran ideal pada bentuk ilahi."

Sebagai bagian dari pameran tersebut, museum itu menampilkan sejumlah topeng penguburan, potret panel, dan sarkofagus yang terkait dengan penguburan Mesir kuno, serta bukti lebih lanjut tentang motif asli mumifikasi.

'Golden Mummies of Egypt' itu dipamerkan di Museum Manchester pada 18 Februari 2023. Museum ini juga menerbitkan sebuah buku dengan judul yang sama yang ditulis oleh Price.

(can/lth)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER