Winston Ma, asisten profesor di Fakultas Hukum New York University, menilai perkembangan peraturan ini menunjukkan bahwa algoritma rekomendasi TikTok akan tunduk pada kontrol ekspor China.
Meski demikian, China dinilai tak punya kuasa terkait penerapan aturannya di negara lain.
"Beijing tidak akan memiliki suara dalam keputusan AS untuk mengamanatkan penjualan TikTok, tetapi akan mempertahankan otoritas persetujuan akhir atas penjualan semacam itu," kata Brock Silvers, kepala investasi untuk Kaiyuan Capital.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tampaknya juga sangat tidak mungkin bahwa Beijing akan menerima kesepakatan apa pun yang menghapus algoritma TikTok dari kontrol langsung dan otoritas pengaturnya," lanjut dia.
Alex Capri menambahkan ada potensi China memakai 'jalur belakang' jika memang membiarkan penjualan saham TikTok.
"Algoritma TikTok membuatnya benar-benar unik dalam hal pengambilan data dan analitik strategis, oleh karena itu, saya tidak melihat Beijing membiarkannya jatuh ke tangan kepentingan AS," kata Capri.
"Kecuali jika mereka masih dapat mengakses data TikTok melalui cara dan metode lain, termasuk intrusi dunia maya yang sedang berlangsung dan bentuk akses pintu belakang lainnya," ucap dia.
TikTok mengaku sudah membangun penghalang teknis dan organisasi yang akan menjaga keamanan data pengguna dari akses tidak sah lewat Project Texas.
Pada rencana yang sama, pemerintah AS dan perusahaan pihak ketiga seperti Oracle juga akan melakukan pengawasan terhadap praktik data TikTok.
TikTok pun sedang mengerjakan rencana serupa untuk Uni Eropa lewat proyek yang dikenal sebagai Project Clover.
Namun, itu belum meyakinkan pejabat AS. Itu kemungkinan karena apa pun yang dilakukan TikTok secara internal, China secara teoritis masih memiliki pengaruh atas pemilik TikTok.
Sekadar belajar dari pengalaman, langkah serupa yang diambil oleh Huawei tidak mencegahnya ditendang dari pasar 5G negara-negara Barat.
Capri menilai kekhawatiran akan tetap ada bahkan jika TikTok dijual ke pembeli Amerika.
"Perubahan kepemilikan TikTok tidak menyelesaikan apa pun," katanya. "Masalah sebenarnya adalah keamanan data secara umum dan siapa yang pada akhirnya memiliki akses ke data tersebut, dengan cara apa pun, terlepas dari kepemilikan legal."
Ujian sebenarnya, kata dia, adalah apakah data pengguna dapat dipagari secara efektif dan privasi serta keamanan dapat dicapai melalui pemisahan data, enkripsi, dan cara lain.
Solusinya, Silvers mengharapkan kedua belah pihak untuk mencoba "kecakapan berkompromi", dengan kekhawatiran AS ditangani, dan Beijing masih mempertahankan kendali atas TikTok.
Namun, dia yakin Beijing pada akhirnya akan lebih memilih TikTok meninggalkan pasar AS daripada menyerahkan algoritmanya.
"Jika ada perusahaan China yang memiliki peluang untuk bertahan dari pengawasan yang meningkat dari pemerintah Barat, mereka harus mempercayakan data mereka kepada perusahaan keamanan pihak ketiga dan menanggung audit pihak ketiga yang ketat dan gangguan pemerintah, selain mentransfer kepemilikan," kata Capri.
"Ini benar-benar krisis eksistensi bagi perusahaan China yang beroperasi di Barat."
(tim/arh)