Video porno yang banyak beredar di media sosial diklaim sebagian besar adalah produk revenge porn. Apakah klaim tersebut benar?
Klaim tersebut muncul dalam sebuah spanduk yang dibentangkan pada peringatan Woman's March di Jakarta pada Sabtu (20/5).
"Bokep lokal Twitter isinya banyak revenge porn dan kalian masih tega nonton," tulis spanduk tersebut yang diunggah @markskiess pada Senin (22/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga :![]() 101 SCIENCE Kenapa Banyak Laron di Lampu? |
Salah seorang netizen lantas mengomentari unggahan tersebut dan menyebut dirinya pernah menyaksikan temannya menjadi korban revenge porn.
"Gue pernah liat nudes temen gue (yang gue udah lama gak ngobrol) di timeline gue karena ada mutual yang like postnya. Gue lapor ke temen gue terus dia cerita bahwa nudes dia disebar sama seorang laki bajingan udah dari beberapa tahun yang lalu tapi masih circulating terus," tulis @kittygalisback.
REMINDER https://t.co/JEMKqu8u5T pic.twitter.com/qFPMYnkNOA
— Di🌷 (@markskiess) May 22, 2023
Menurut data Catatan Tahunan Komnas Perempuan, sepanjang 2022 terdapat 1.638 kasus Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) yang di dalamnya revenge porn.
"Secara khusus Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tidak secara khusus mencatat angka kasus Revenge Porn, namun pada CATAHU 2023 Komnas Perempuan mencatat di sepanjang Tahun 2022 terdapat 1.638 kasus Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) yang di dalamnya revenge porn," ujar Bahrul Fuad (Komisioner Komnas Perempuan) kepada CNNIndonesia.com, Kamis (25/5).
Bahrul menjelaskan dari total angka tersebut, pelaku didominasi oleh mantan pacar sebanyak 534 orang dan pacar 220 orang.
"Semua korban mengaku mengenal, kondisi ini menggambarkan bahwa keterbatasan pertemuan di dunia nyata dan meningkatkan intensitas penggunaan platform digital menjadi pemicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan di dunia siber," katanya menerangkan.
Meski demikian, ada juga yang mengatakan bahwa pelaku adalah orang tidak diketahui sebesar 382 orang.
Menurutnya, hal ini dikarenakan pengetahuan yang terbatas terkait penggunaan media sosial dan teknologi tidak diiringi dengan kemajuan teknologi yang pesat.
Lebih lanjut, Bahrul menyebut banyaknya kejadian revenge porn disebabkan rendahnya literasi digital masyarakat, terutama generasi muda.
"Sebagian besar anak muda kita akrab dengan dunia digital tapi mereka tidak dibekali kesadaran tentang berinternet yang aman. Di sisi lain masyarakat kita juga tidak tidak memiliki pengetahuan yang cukup terkait dengan pendidikan seksual," tuturnya.
"Sehingga dua faktor tersebut meningkatkan kerentanan anak muda khususnya perempuan terhadap Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik," tambahnya.
Jika menjadi korban aksi revenge porn, Bahrul mengimbau korban untuk mendokumentasikan bentuk kekerasannya dengan melakukan screenshot foto atau video tindak kekerasan tersebut.
Kemudian, korban diimbau memblokir akun pelaku dan segera melapor ke pihak berwajib.
Sementara itu, baru-baru ini sebuah video menampilkan perempuan yang dianggap mirip dengan aktris Rebecca Klopper. Banyak yang menyebut bahwa Rebecca mengalami 'revenge porn'.
Dikutip dari Britton Time, istilah revenge porn mengacu pada penyebarluasan materi pribadi dan eksplisit secara seksual dari seseorang tanpa persetujuan mereka. Informasi pribadi juga dapat menyertai foto atau video, misalnya, nama atau alamat subjek.
Namun dikutip dari unggahan twitter @safenetvoice, istilah revenge porn "problematik" lantaran penggunaan kata revenge. "Kata "balas dendam" ini seakan-akan menunjukkan bahwa korban /pantas/ menjadi korban karena tindakannya sendiri," tulis Safenet.
Selain itu, istilah ini juga problematik karena yang disebarkan "bukan porn." Menurut Safenet, ada istilah lain yang bisa digunakan berdasarkan usulan Coding Rights dan Internet Lab yakni penyebaran gambar intim tanpa persetujuan atau non-consensual dissemination of intimate images (NCII). Selain itu,ada alternatif berupa malicious distribution.
Jadi, kalau tidak pakai istilah "revenge porn", istilah apa yang bisa dipakai?@CodingRights dan InternetLab menyodorkan istilah "non-consensual dissemination of intimate images" atau yang kerap kali disingkat jadi NCII.#16HAKTP #16DAYS #GerakBersama #awasKBGO pic.twitter.com/YAxjLJw6oy
— SAFEnet | Southeast Asia Freedom of Expression Net (@safenetvoice) December 3, 2019
(lom/lth)