3 Cerita Kekeringan Dahsyat di RI, Sawah Meranggas Hingga Ekspor Asap
Indonesia beberapa kali dilanda kekeringan dahsyat imbas fenomena iklim yang memicu penurunan curah hujan, El Nino. Simak riwayatnya di sini.
Untuk tahun ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirakan El Nino mencapai puncaknya Agustus hingga September.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati sempat mengungkapkan bahwa El Nino tahun ini sebetulnya datang dengan intensitas lemah, namun tetap perlu kewaspadaan.
"El Nino ini intensitasnya lemah hingga moderat, sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada ketersediaan air atau kekeringan, juga produktivitas pangan atau berdampak terhadap ketahanan pangan," kata Dwikorita beberapa waktu lalu.
Data terbaru menunjukkan indikator-indikator El Nino masih dalam kondisi tidak signifikan. Indeks NINO 3.4 berada pada angka +1,04 atau El Nino lemah, Southern Oscillation Index (SOI) pada angka -11.9 atau tak signifikan.
Selain itu, fenomena iklim yang turut 'mengeringkan' hujan, Indian Ocean Dipole (IOD), masih dalam kondisi tak signifikan (Dipole Mode Index/DMI +0.20).
Peringatan soal potensi kekeringan itu bukan tanpa alasan. Secara geografis, Indonesia pernah mengalami beberapa kali mengalami kekeringan dahsyat terutama akibat El Nino.
Berikut riwayat kekeringan dahsyat yang pernah melanda Indonesia:
1997
Kekeringan panjang jelang-jelang keruntuhan Orde Baru ini melanda sejumlah besar wilayah Indonesia. Bencana ini juga dibarengi dengan kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia.
Insiden ini bahkan menjadi perhatian internasional karena RI mengekspor asap ke negara-negara tetangga.
Kebakaran hutan yang melanda sejumlah kawasan di Pulau Sumatera dan Kalimantan saat itu memang terkait dengan El Nino. Lantaran curah hujan amat minim dan kondisi udara kering, api menjadi mudah tersulut dan merambat serta sulit dikendalikan.
Lihat Juga : |
Kekeringan dan kemarau panjang saat itu juga menyebabkan banyak wilayah sentra pertanian mengalami gagal panen karena distribusi curah hujan yang tidak memenuhi kebutuhan tanamanan, menurut Ditjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Sebuah studi di Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi mengungkapkan hasil analisis Standarized Precipitation Indeks (SPI) menunjukkan fenomena El Nino saat itu memicu kekeringan dengan intensitas sangat tinggi (ekstrem kering).
SPI merupakan indeks probabilitas dari data curah hujan di mana indeks negatif menunjukkan kondisi kering sedang indeks positif untuk kondisi basah.
Dalam jurnal tersebut, para peneliti mengungkapkan pada tahun 1997 terjadi El Nino kuat dengan nilai SPI 3, 6 dan 12 pada bulan Agustus, September dan Oktober menunjukkan nilai SPI kurang dari -3. Artinya fenomena El Nino 1997 menyebabkan musim kering ekstrim-kering sepanjang tahun.
Para peneliti mengungkap El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang terjadi secara bersamaan pada tahun 1997/1998 mengakibatkan panjangnya musim kemarau di tahun tersebut.
Sepanjang 1997 hanya tiga bulan yang mempunyai curah hujan sedikit di atas normal, sisa bulan yang lain mempunyai curah hujan di bawah normal.
"Anomali positif suhu permukaan laut Samudera Pasifik (El Nino) dan Samudera Hindia (IOD+) yang terjadi secara bersamaan pada tahun 1997/1998, telah menyebabkan kemarau sangat panjang di tahun tersebut," kata peneliti.
"Tingginya intensitas kekeringan pada tahun 1997/1998 ditunjukkan dengan nilai SPI 3 (defisit 3 bulan), 6 (defisit 6 bulan) dan 12 (defisit 12 bulan) berkisar antara -1,5 sampai -3,9 yang berarti telah terjadi kondisi kering sampai sangat kering (ekstrim kering) pada tahun itu," lanjut peneliti.
Riwayat 2015 dan 2019 di halaman berikutnya...