Polusi udara bisa disebarkan oleh angin ke wilayah lainnya, sementara hujan bisa mengurangi kepekatannya. Simak penjelasan pakar berikut.
Beberapa waktu lalu, bakal calon presiden Anies Baswedan menuding asap atau polutan dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) menjadi masalah polusi udara di wilayah DKI Jakarta. Menurutnya asap itu berasal dari luar Jakarta tetapi terbawa angin menuju Ibu Kota.
Ia mengatakan ketika polutan memasuki wilayah Jakarta, maka akan terdeteksi oleh alat ukur polusi udara. Karena hal tersebut, tampak ada masalah udara di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyak pembangkit listrik tenaga uap yang kemudian cerobongnya menghasilkan polutan, ketika arah anginnya bergerak ke arah Jakarta maka dia tertangkap oleh sensor," kata Anies di Pos Bloc, Jakarta Pusat, Selasa (15/8).
IQAir, situs pemantau kualitas udara asal Swiss mengungkap angin memang dapat membantu dalam menyebarkan polutan.
Ketika polutan berada di suatu wilayah, angin dapat menyebarkan polutan keluar dari wilayah tersebut dan mengurangi konsentrasi polutan yang lebih intens di satu wilayah.
Merujuk laman resmi IQAir, proses ini juga dapat meniup polutan jauh dari sumbernya. Hal semacam ini pernah terjadi pada 2020 ketika asap kebakaran hutan di Amerika Serikat (AS) bagian barat mengirimkan polutan partikel hingga Eropa barat.
Meski demikian, pergeseran polutan oleh angin tidak akan terjadi jika kondisi geografis tidak memungkinkan. Misalnya, polutan tidak dapat didorong keluar dari lembah jika angin yang bertiup tidak dapat naik melewati pegunungan.
Dalam kasus semacam ini, polutan dapat berkumpul dalam konsentrasi yang lebih tinggi di dasar gunung. Selain angin, kondisi cuaca juga dapat mempengaruhi keparahan polusi di suatu wilayah.
Meski begitu, kasus semacam ini disebut tak terjadi di DKI Jakarta saat ini.
Plt Deputi Bidang Klimatologi Ardhasena Sopaheluwakan menyebut saat ini angin yang berhembus adalah angin timuran, yang artinya angin bertiup dari timur ke barat.
"Karena angin sekarang timuran, artinya udara dari timur Jakarta terbawa masuk Jakarta, lalu yang massa udara yang di Jakarta tertransport ke arah barat dan sebagian ke selatan," tuturnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (18/8).
Meski demikian, Ardhasena menggarisbawahi angin hanya mengangkut polutan dan tidak menyebabkan emisi polutan.
Menurutnya polutan yang dibawa oleh angin jumlahnya juga cukup sedikit jika dibandingkan dengan emisi yang bersumber dari alat transportasi di Jabodetabek yang lebih besar dan signifikan
"Minor dibandingkan sumber transportasi di Jabodetabek yang lebih besar dan signifikan," tuturnya.
Pengamat iklim dan lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) Emilya Nurjani udara di musim kemarau dengan curah hujan dan kecepatan angin yang rendah memang sedikit banyak memengaruhi tingkat pencemaran udara.
"Secara teori memang benar, karena jika ada hujan maka gas hasil pembakaran akan larut dengan air dan diturunkan ke permukaan sehingga udara kembali bersih. Dengan kondisi sekarang di mana sudah lama tidak hujan dan kelembaban juga cukup rendah, keberadaan gas tadi jadi banyak," tuturnya, dikutip dari laman UGM.
Namun, hujan hanya efektif untuk mengurangi polutan berukuran besar, misalnya, partikel kasar (PM10) seperti debu, kotoran, dan serbuk sari lebih besar dan lebih berat daripada partikel lain. Hujan mengurangi polutan dengan membantu PM10 mengendap di tanah lebih cepat.
Menurut dia hujan kurang efektif dalam mengencerkan PM2.5 yang memiliki ukuran partikel lebih kecil.
Para peneliti di Lanzhou, China mengukur seberapa besar pengaruh hujan terhadap konsentrasi PM10, PM2.5, dan PM1 di udara dari 2005 hingga 2007.
Hasilnya, hujan yang sangat deras dapat mengurangi polutan partikel yang lebih besar dengan jumlah yang kecil, tetapi hampir tidak berpengaruh pada partikel yang lebih kecil dari 2,5 mikron.