Jakarta, CNN Indonesia --
Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) memprediksi kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bakal terus meningkat hingga 2050.
Sepanjang Agustus, kasus kebakaran hutan dan lahan melanda sejumlah negara. Di Hawaii, misalnya, sedikitnya 100 orang tewas akibat kebakaran di Mauii.
Kebakaran hutan juga melahap dua wilayah metropolitan Kanada, tepatnya di British Columbia dan wilayah Barat Laut. Peristiwa ini menyebabkan puluhan ribu warga Kanada mengungsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di dalam negeri, kebakaran hutan juga mulai melanda sejumlah wilayah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 499 kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sepanjang Januari sampai Agustus 2023.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari jumlah kejadian karhutla tahun ini lebih cepat dan banyak dibandingkan dua tahun sebelumnya.
Sejak 2020 hingga 2022, jumlah kejadian karhutla selalu di bawah 300. Namun, kata dia, saat ini jumlahnya sudah tembus lebih dari 300 di saat 2023 baru setengah tahun berjalan.
Lalu, bagaimana prediksi soal kebakaran hutan?
Laporan berjudul Spreading like Wildfire: The Rising Threat of Extraordinary Landscape Fires yang dirilis PBB pada 2022, menemukan peningkatan risiko kebakaran hutan di wilayah yang sebelumnya tidak pernah terjadi kebakaran.
Banyaknya kebakaran hutan adalah buntut dari krisis iklim yang semakin parah dan perubahan penggunaan lahan hutan yang ekstrem secara global.
"Perubahan iklim dan perubahan tata guna lahan diperkirakan akan menyebabkan kebakaran hutan menjadi lebih sering dan hebat," menurut laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) dan GRID-Arendal.
"Dengan peningkatan kebakaran ekstrem secara global sebesar 14 persen pada 2030, 30 persen pada akhir 2050, dan 50 persen pada akhir tahun 2030," lanjut PBB.
Laporan PBB itu melibatkan setidaknya 50 peneliti internasional. Temuan-temuan tersebut menunjukkan harus ada perubahan radikal dalam aturan publik untuk kebakaran hutan.
Kecam negara-negara
PBB juga mengkritik pemerintah sejumlah negara menempatkan anggaran mereka di tempat yang salah dengan berfokus pada pekerjaan layanan darurat. Padahal mencegah kebakaran akan menjadi pendekatan yang lebih efektif.
Sally Archibald, profesor ahli ekologi di University of the Witwatersrand, Johannesburg, yang terlibat dalam laporan tersebut, mengatakan laporan itu merupakan kesimpulan yang tepat untuk pemerintah.
"Ini adalah kesimpulan yang sangat penting yang saya harap dapat mengalihkan uang dan sumber daya ke arah yang benar, serta mengubah kebijakan," kata dia dikutip dari The Guardian.
Para penulis makalah tersebut mengatakan seharusnya ada lebih banyak sistem pemantauan berbasis sains yang dikombinasikan dengan pengetahuan lokal.Selain itu, perlu melibatkan kerja sama regional dan internasional yang lebih kuat untuk mengatasi karhutla.
Pengaruh krisis iklim di halaman berikutnya...
Kebakaran hutan telah memperburuk krisis iklim dengan menghancurkan ekosistem yang kaya akan karbon seperti lahan gambut, lapisan es, dan hutan, sehingga lahan hutan menjadi lebih mudah terbakar.
Memulihkan ekosistem seperti lahan basah dan lahan gambut dapat membantu mencegah terjadinya kebakaran dan menciptakan penyangga dalam lanskap.
Direktur Program Lingkungan Hidup PBB Inger Andersen mengatakan masyarakat global harus meminimalisir risiko kebakaran hutan yang ekstrem.
Caranya adala dengan berinvestasi lebih banyak dalam pengurangan risiko kebakaran, bekerja sama dengan masyarakat setempat dan memperkuat komitmen global untuk memerangi perubahan iklim.
Di samping itu, para ahli percaya bahwa ekosistem yang lebih dekat dengan khatulistiwa memiliki lebih banyak risiko kebakaran hutan, dan ekosistem yang lebih jauh seharusnya memiliki lebih sedikit kebakaran.
Faktor perubahan iklim
Perubahan iklim meningkatkan kondisi terjadinya kebakaran hutan, termasuk kekeringan, suhu udara yang lebih tinggi, dan angin kencang. Selain itu, emisi karbon dari kebakaran hutan juga berada pada titik tertinggi sepanjang masa.
Mengatasi krisis iklim merupakan prioritas utama dalam pencegahan kebakaran hutan.
Sebuah penelitian di California yang terbit beberapa waktu lalu juga mengungkapkan bahwa perubahan iklim meningkatkan risiko kebakaran hutan yang menyebar dengan cepat.
Para ilmuwan di Breakthrough Institute, sebuah pusat penelitian nirlaba, menemukan pemanasan yang disebabkan oleh manusia meningkatkan frekuensi kebakaran hutan yang ekstrem sebesar 25 persen dibandingkan dengan era pra-industri, dalam sebuah studi di jurnal Nature.
Dengan meneliti serangkaian kebakaran dari tahun 2003 hingga 2020, mereka menggunakan pembelajaran mesin untuk menganalisis hubungan antara suhu rata-rata yang lebih tinggi, kondisi yang lebih kering, dan kebakaran yang paling cepat menyebar, kebakaran yang membakar lebih dari 10.000 hektar per hari.
Dampak perubahan iklim bervariasi dari satu kebakaran ke kebakaran lainnya.
[Gambas:Infografis CNN]
Pada kondisi tertentu yang sebagian kering, pemanasan global mendorong area tersebut melampaui ambang batas utama, sehingga kebakaran ekstrem menjadi lebih mungkin terjadi. Pada kondisi yang sangat kering, dampaknya lebih kecil.
"Ini berarti bahwa kita harus memberikan perhatian yang lebih besar pada tempat dan waktu yang secara historis mengalami kondisi lembab di ambang batas ini, namun didorong melewati ambang batas ini menjadi kering oleh pemanasan global," kata penulis utama Patrick Brown, mengutip AFP.
Para peneliti menghitung risiko tersebut dapat meningkat rata-rata 59 persen pada akhir abad ini di bawah skenario 'emisi rendah' ketika pemanasan global dibatasi hingga 1,8 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, dan hingga 172 persen dalam skenario emisi tinggi yang tidak terkendali.
[Gambas:Photo CNN]
Permukaan bumi telah menghangat 1,2 derajat Celcius.
Dengan menggunakan data dari kebakaran yang tercatat, para peneliti mengukur probabilitas kebakaran yang terjadi menjadi kebakaran yang "ekstrem". Kemudian mereka menggunakan model komputer untuk menghitung seberapa jauh kenaikan suhu pasca industri telah meningkatkan risiko tersebut.
Penelitian ini mengontrol variabel-variabel seperti curah hujan, angin dan kelembaban absolut dan para peneliti memperingatkan bahwa perubahan-perubahan ini dapat membuat risiko dari pemanasan global menjadi lebih buruk.
[Gambas:Video CNN]