KRISIS IKLIM

PBB Prediksi Karhutla Dahsyat Bisa Makin 'Menggila' Hingga 2050

CNN Indonesia
Rabu, 06 Sep 2023 11:59 WIB
PBB memprediksi kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bakal terus meningkat hingga 2050. Simak penyebab dan upaya menangkalnya.
Ilustrasi. PBB memprediksi kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bakal terus meningkat hingga 2050. (Foto: AP/Achilleas Chiras)

Kebakaran hutan telah memperburuk krisis iklim dengan menghancurkan ekosistem yang kaya akan karbon seperti lahan gambut, lapisan es, dan hutan, sehingga lahan hutan menjadi lebih mudah terbakar.

Memulihkan ekosistem seperti lahan basah dan lahan gambut dapat membantu mencegah terjadinya kebakaran dan menciptakan penyangga dalam lanskap.

Direktur Program Lingkungan Hidup PBB Inger Andersen mengatakan masyarakat global harus meminimalisir risiko kebakaran hutan yang ekstrem.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Caranya adala dengan berinvestasi lebih banyak dalam pengurangan risiko kebakaran, bekerja sama dengan masyarakat setempat dan memperkuat komitmen global untuk memerangi perubahan iklim.

Di samping itu, para ahli percaya bahwa ekosistem yang lebih dekat dengan khatulistiwa memiliki lebih banyak risiko kebakaran hutan, dan ekosistem yang lebih jauh seharusnya memiliki lebih sedikit kebakaran.

Faktor perubahan iklim

Perubahan iklim meningkatkan kondisi terjadinya kebakaran hutan, termasuk kekeringan, suhu udara yang lebih tinggi, dan angin kencang. Selain itu, emisi karbon dari kebakaran hutan juga berada pada titik tertinggi sepanjang masa.

Mengatasi krisis iklim merupakan prioritas utama dalam pencegahan kebakaran hutan.

Sebuah penelitian di California yang terbit beberapa waktu lalu juga mengungkapkan bahwa perubahan iklim meningkatkan risiko kebakaran hutan yang menyebar dengan cepat.

Para ilmuwan di Breakthrough Institute, sebuah pusat penelitian nirlaba, menemukan pemanasan yang disebabkan oleh manusia meningkatkan frekuensi kebakaran hutan yang ekstrem sebesar 25 persen dibandingkan dengan era pra-industri, dalam sebuah studi di jurnal Nature.

Dengan meneliti serangkaian kebakaran dari tahun 2003 hingga 2020, mereka menggunakan pembelajaran mesin untuk menganalisis hubungan antara suhu rata-rata yang lebih tinggi, kondisi yang lebih kering, dan kebakaran yang paling cepat menyebar, kebakaran yang membakar lebih dari 10.000 hektar per hari.

Dampak perubahan iklim bervariasi dari satu kebakaran ke kebakaran lainnya.

Pada kondisi tertentu yang sebagian kering, pemanasan global mendorong area tersebut melampaui ambang batas utama, sehingga kebakaran ekstrem menjadi lebih mungkin terjadi. Pada kondisi yang sangat kering, dampaknya lebih kecil.

"Ini berarti bahwa kita harus memberikan perhatian yang lebih besar pada tempat dan waktu yang secara historis mengalami kondisi lembab di ambang batas ini, namun didorong melewati ambang batas ini menjadi kering oleh pemanasan global," kata penulis utama Patrick Brown, mengutip AFP.

Para peneliti menghitung risiko tersebut dapat meningkat rata-rata 59 persen pada akhir abad ini di bawah skenario 'emisi rendah' ketika pemanasan global dibatasi hingga 1,8 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, dan hingga 172 persen dalam skenario emisi tinggi yang tidak terkendali.

Permukaan bumi telah menghangat 1,2 derajat Celcius.

Dengan menggunakan data dari kebakaran yang tercatat, para peneliti mengukur probabilitas kebakaran yang terjadi menjadi kebakaran yang "ekstrem". Kemudian mereka menggunakan model komputer untuk menghitung seberapa jauh kenaikan suhu pasca industri telah meningkatkan risiko tersebut.

Penelitian ini mengontrol variabel-variabel seperti curah hujan, angin dan kelembaban absolut dan para peneliti memperingatkan bahwa perubahan-perubahan ini dapat membuat risiko dari pemanasan global menjadi lebih buruk.



(can/dmi)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER