Tim ilmuwan multidisiplin yang dipimpin oleh Kim Warren-Rhodes dari Search for Extraterrestrial Intelligence (SETI) Institute di California memetakan makhluk hidup langka yang tinggal di Salar de Pajonales, sebuah dataran garam di Gurun Atacama Chile dan Altiplano, Maret.
Peneliti bekerja sama dengan Michael Phillips dari Laboratorium Fisika Terapan Johns Hopkins University dan peneliti Oxford University Freddie Kalaitzis untuk melatih model pembelajaran mesin (AI).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tujuannya, mengenali pola dan aturan yang terkait dengan distribusi kehidupan di wilayah yang keras. Pelatihan semacam ini mengajarkan model tersebut untuk mengenali pola dan aturan yang sama di berbagai lanskap - termasuk lanskap yang mungkin ada di planet lain.
Tim menemukan bahwa sistem mereka, dengan menggabungkan ekologi statistik dan AI, dapat menemukan dan mendeteksi jejak biologis hingga 87,5 persen setiap harinya. Hal ini dibandingkan dengan tingkat keberhasilan yang tidak lebih dari 10 persen yang dicapai melalui penelusuran acak.
Selain itu, program ini dapat mengurangi area yang diperlukan untuk pencarian sebanyak 97 persen, sehingga membantu para ilmuwan secara signifikan mempertajam perburuan mereka terhadap potensi jejak kimiawi kehidupan, atau tanda-tanda biologis.
Alat pembelajaran mesin semacam itu, kata para peneliti, dapat diterapkan pada misi robot planet seperti penjelajah Perseverance milik NASA, yang saat ini sedang berburu jejak kehidupan di dasar Kawah Jezero Mars.
"Dengan model ini, kami dapat merancang peta jalan dan algoritme yang dibuat khusus untuk memandu penjelajah ke tempat-tempat dengan kemungkinan tertinggi menyimpan kehidupan masa lalu atau masa kini - tidak peduli seberapa tersembunyi atau langkanya," jelas Warren-Rhodes, dikutip dari Space.
Lihat Juga : |
Pada Juli, tim ilmuwan melakukan simulasi soal kondisi atmosfer dunia asing mirip Bumi yang bisa mengungkap petunjuk tentang kemampuan planet ekstrasurya untuk menampung kehidupan.
Evelyn Macdonald, mahasiswa pascasarjana di Departemen Fisika di Toronto University, mengungkap penelitian timnya dilakukan lewat simulasi iklim yang disebut ExoPlaSim.
Bentuknya, memodelkan bagaimana jumlah dan distribusi darat dan laut mempengaruhi iklim dunia yang disebut "dunia yang terkunci pasang surut."
Model tersebut menunjukkan bahwa rata-rata suhu global di planet yang mengalami pasang surut lebih bergantung pada luas daratan dibandingkan lokasi daratan.
Selain itu, semakin besar luas daratan, semakin panas siang hari dan semakin kering atmosfer planet. Hal ini karena semakin luasnya daratan berarti semakin sedikit air permukaan yang dapat menguap ke atmosfer, sehingga curah hujan pun berkurang.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa distribusi lahan di planet mirip Bumi mempunyai dampak besar terhadap iklimnya, dan akan membantu para astronom dalam mengamati planet dengan instrumen seperti Teleskop Luar Angkasa James Webb untuk lebih memahami apa yang mereka lihat," kata Macdonald.
Pencarian kehidupan lain bisa dirunut dari tahap awal pembentukan planetnya. Sementara, planet terbentuk di awan tebal debu dan gas yang dikenal sebagai cakram protoplanet yang berputar-putar di sekitar bintang.
Para ilmuwan pun harus bergantung pada petunjuk tidak langsung untuk menyimpulkan keberadaan protoplanet, termasuk puing planet muda.
Feng Long, seorang rekan postdoctoral di Pusat Astrofisika Harvard dan Smithsonian, menemukan petunjuk baru yang mungkin menunjukkan keberadaan protoplanet.
Lihat Juga :101 SCIENCE Di Manakah Alien Tinggal? |
Timnya meneliti data dari Observatorium ALMA Chili yang berkaitan dengan cakram protoplanet LkCa 15, yang terletak sekitar 518 tahun cahaya jauhnya.
Fee Long melihat "cincin berdebu dengan dua kumpulan materi terpisah dan terang yang mengorbit di dalamnya."
"Kami melihat bahwa materi ini tidak hanya melayang bebas, tapi juga stabil dan memiliki preferensi di mana ia ingin ditempatkan berdasarkan fisika dan objek yang terlibat," lanjut Long.
Namun, teknologi astronomi terkini belum bisa mengonfirmasi penelitiannya. "Saya berharap metode ini dapat diadopsi secara luas di masa depan," tandas Long.
Para astronom mencurigai dua benda langit, yakni Komet Oumuamua (pertama kali dideteksi Oktober 2017) dan Komet 21/Borisov (pertama kali dideteksi Agustus 2019), sebagai pesawat antariksa alien.
Khusus Omuamua, objek ini pertama kali ditemukan pada 19 Oktober 2017 lewat teleskop Pan-STARRS1 milik University of Hawaii. Meski dikategorikan sebagai komet, para ahli tidak ada aktivitas Oumuamua yang menunjukkan tanda-tanda seperti komet.
"Apa yang menarik dari penemuan ini adalah, ia (Oumuamua) merupakan pengunjung dari sistem bintang yang sangat jauh, berbentuk seperti yang tidak pernah kita lihat di sistem Tata Surya kita," kata Paul Chodas, manajer Center for Near-Earth Object Studies.
Terbang dengan kecepatan 87,3 km per detik, Oumuamua memiliki penampilan seperti cerutu dengan panjang 400 meter dan tinggi 10 kali lipat daripada lebarnya.
Para pakar pun meminta NASA mengirim pesawat antariksa ke komet yang namanya berarti "pembawa pesan dari dunia jauh yang tiba pertama kali" itu.
(rfi/arh)