Selama ratusan juta tahun, lautan di Bumi menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar, hampir sama dengan jumlah yang ada di atmosfer Venus saat ini.
Efeknya, atmosfer Bumi mengalami penurunan karbon dioksida secara signifikan dibandingkan dengan planet-planet tetangganya.
"Di Bumi, sebagian besar karbon dioksida di atmosfer telah disimpan dalam air laut dan batuan padat selama rentang waktu geologis, yang telah membantu mengatur iklim dan kelayakan huni selama miliaran tahun," kata rekan penulis studi Frieder Klein.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tim beralasan rendahnya karbon dioksida serupa terdeteksi di planet yang jauh, dibandingkan dengan planet tetangga Bumi, ini akan menjadi sinyal yang dapat diandalkan mengenai lautan dan kehidupan di permukaannya.
"Setelah meninjau secara mendalam literatur di berbagai bidang mulai dari biologi, kimia, dan bahkan penyerapan karbon dalam konteks perubahan iklim," kata De Wit.
"Kami yakin bahwa jika kita mendeteksi penipisan karbon, hal ini mempunyai peluang bagus untuk menjadi tanda kuat adanya air cair atau kehidupan," lanjutnya.
Dalam studinya, tim memaparkan strategi untuk mendeteksi planet yang dapat dihuni dengan mencari tanda-tanda karbon dioksida yang tipis.
Pencarian semacam itu akan bekerja paling baik untuk sistem "peas-in-a-pod", ketika beberapa planet terestrial, semuanya berukuran sama, mengorbit relatif dekat satu sama lain, mirip dengan tata surya kita.
Langkah pertama yang diusulkan tim adalah memastikan planet-planet tersebut memiliki atmosfer, hanya dengan mencari keberadaan karbon dioksida, yang diperkirakan mendominasi sebagian besar atmosfer planet.
"Karbon dioksida adalah penyerap inframerah yang sangat kuat, dan dapat dengan mudah dideteksi di atmosfer planet ekstrasurya. Sinyal karbon dioksida kemudian dapat mengungkap keberadaan atmosfer planet ekstrasurya." jelas De Wit.
Setelah para astronom menentukan beberapa planet dalam suatu sistem memiliki atmosfer, mereka dapat melanjutkan dengan mengukur kandungan karbon dioksida di dalamnya.
Tujuannya, untuk melihat apakah satu planet memiliki atmosfer yang jauh lebih sedikit dibandingkan planet lainnya.
Jika ya, kemungkinan besar planet tersebut layak huni, artinya planet ini menampung sejumlah besar air di permukaannya.
Namun kondisi yang layak huni tidak berarti bahwa sebuah planet bisa dihuni. Untuk mengetahui apakah kehidupan benar-benar ada, tim mengusulkan agar para astronom mencari fitur lain di atmosfer planet.
Di Bumi, para peneliti mencatat tumbuhan dan beberapa mikroba berkontribusi dalam menarik karbon dioksida, meskipun tidak sebanyak lautan.
Namun demikian, sebagai bagian dari proses ini, makhluk hidup mengeluarkan oksigen, yang bereaksi dengan foton matahari untuk berubah menjadi ozon - sebuah molekul yang jauh lebih mudah dideteksi daripada oksigen.
Para peneliti mengatakan jika atmosfer sebuah planet menunjukkan tanda-tanda ozon dan tipisnya karbon dioksida, kemungkinan besar planet tersebut layak huni dan berpenghuni.
"Jika kita melihat ozon, kemungkinan besar hal ini terkait dengan karbon dioksida yang dikonsumsi oleh kehidupan," kata Triaud.
Apabila ini menjadi sebuah tempat untuk kehidupan maka itu adalah kehidupan yang mulia. Bukan hanya beberapa bakteri saja melainkan menjadi biomassa berskala besar yang mampu memroses karbon dalam jumlah yang besar.
Tim memperkirakan bahwa Teleskop Luar Angkasa James Webb milik NASA akan mampu mengukur karbon dioksida, dan mungkin ozon, di sistem multiplanet terdekat seperti TRAPPIST-1 - sistem tujuh planet yang mengorbit bintang terang, hanya 40 tahun cahaya dari Bumi.
"TRAPPIST-1 adalah salah satu dari sedikit sistem di mana kita dapat melakukan studi atmosfer terestrial dengan JWST," kata de Wit.
"Sekarang kami memiliki peta jalan untuk menemukan planet yang layak huni. Jika kita semua bekerja sama, penemuan-penemuan yang mengubah paradigma dapat dicapai dalam beberapa tahun mendatang." tambahnya.
(rfi/dmi)