Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko buka suara terkait perbedaan pilihan istilah antara pakar klimatologi di BRIN Erma Yulihastin dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) soal pusaran angin di Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Menurut Handoko, apa yang disampaikan penelitinya adalah opini personal.
"Itu kan bukan official, itu kan dari Twitternya. Ya enggak usah terlalu serius kalo dari Twitter. Namanya juga personal," katanya kepada CNNIndonesia.com di kantor BRIN, Jakarta,
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iya [dinamika ilmu pengetahuan]. Lagipula kan itu di Twitter, jadi mestinya media harus bisa memilah mana yang bisa dikutip mana yang tidak," imbuhnya.
Pada Rabu (21/2) sekitar pukul 16.00 WIB, angin puting beliung terjadi di Kecamatan Jatinangor, wilayah perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Sumedang.
Badan Penanggulangan Bencana daerah (BPBD) Jabar menyebut angin puting beliung itu berdampak terhadap warga di perbatasan Kabupaten Sumedang-Kabupaten Bandung, yakni mulai dari Jatinangor, Rancaekek, hingga Cicalengka.
Erma menyebut bencana yang terjadi ini sebagai tornado.
"Jadi bagaimana, kalian sudah percaya sekarang kalau badai tornado bisa terjadi di Indonesia? KAMAJAYA sudah memprediksi "extreme event" 21 Februari 2023," ujarnya, di Twitter, Rabu (21/1).
"Kronologi foto-foto dan video dari masyarakat dan media sangat membantu periset dalam mendokumentasikan extreme event yg tercatat sebagai tornado pertama ini."
Erma menyinggung durasi kejadian tersebut yang berlangsung lama, sehingga dianggap berbeda dengan kebiasaan puting beliung di Indonesia.
"Selain itu juga durasi. Dalam kasus puting beliung yg biasa terjadi di Indonesia, hanya sekitar 5-10 menit itu pun sudah sangat lama. Hanya ada satu kasus yg tidak biasa ketika puting beliung terjadi dalam durasi 20 menit di Cimenyan pada 2021," katanya.
Namun, Erma belum menyediakan data kecepatan angin tersebut.
"Kami tim periset dari BRIN secepatnya akan melakukan rekonstruksi dan investigasi tornado Rancaekek pada hari ini (21/2)," ungkap Erma.
Usai utasnya tersebut, kata kunci 'Tornado' dan 'Rancaekek' masuk sepuluh besar trending topic Twitter Indonesia pada Kamis (22/2). Ragam kekhawatiran warganet bermunculan, terutama soal makin memburuknya bencana imbas efek pemanasan global.
Melihat dinamika ini, BMKG lantas mengeluarkan pernyataan resmi yang membantah istilah tornado tersebut.
"Pada hari Rabu tanggal 21 Februari 2024 masyarakat di sekitar wilayah Rancaekek dihebohkan dengan adanya kejadian fenomena cuaca ekstrem puting beliung," kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto, dalam siaran pers, Kamis (22/2).
Menurutnya, "secara esensial fenomena puting beliung dan tornado memang merujuk pada fenomena alam yang memiliki beberapa kemiripan visual yaitu pusaran angin yang kuat, berbahaya dan berpotensi merusak."
Ia menjelaskan ada faktor perbedaan kelaziman penamaan angin kencang berdasarkan wilayah yang juga menyiratkan kekuatannya.
Istilah Tornado, katanya, biasa dipakai di Amerika. Kejadian pusaran angin disebut tornado ketika intensitasnya meningkat lebih dahsyat dengan kecepatan angin hingga ratusan km/jam dengan dimensi yang sangat besar hingga puluhan kilometer.
Tornado sendiri memicu kerusakan yang luar biasa.
Sementara di Indonesia, Guswanto mengatakan fenomena yang mirip tersebut mendapat istilah puting beliung. Karakteristik kecepatan angin dan dampaknya relatif tidak sekuat dan sebesar tornado besar yang terjadi di wilayah Amerika.
Fenomena puting beliung di Rancaekek, Bandung, misalnya, menimbulkan ikutan dampak angin kencang hingga sekitar wilayah Jatinangor yang terukur mencapai 36,8 km per jam.
"Sehingga kami mengimbau bagi siapapun yang berkepentingan, untuk tidak menggunakan istilah yang dapat menimbulkan kehebohan di masyarakat," tutur Guswanto.
"Cukuplah dengan menggunakan istilah yang sudah familiar di masyarakat Indonesia, sehingga masyarakat dapat memahaminya dengan lebih mudah," tambahnya.
(lom/arh)