Meski diprediksi masuk masa pancaroba atau peralihan musim pada Maret, sejauh ini Jawa dan bagian selatan Indonesia masih ramai hujan. Simak beda penjelasan soal sebab fenomena ini di antara para pakar.
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), berdasarkan analisis dinamika atmosfer, menyebut saat ini puncak musim hujan telah terlewati di berbagai wilayah Indonesia, khususnya bagian Selatan Indonesia.
Hal ini mengindikasikan wilayah tersebut akan mulai memasuki peralihan musim di bulan Maret hingga April.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
BMKG pun mengingatkan potensi cuaca ekstrem selama periode pancaroba yang diprakirakan berlangsung pada Maret–April 2024.
"Selama periode pancaroba, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan dan antisipasi dini terhadap potensi cuaca ekstrem seperti hujan lebat dalam durasi singkat yang dapat disertai kilat/petir dan angin kencang, angin puting beliung, dan fenomena hujan es," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di Jakarta, Minggu (25/2) dalam siaran persnya.
Dalam keterangan terpisah, sebagian wilayah Sumatra bagian selatan dan Jawa masih berada dalam puncak musim hujan di Februari, "sehingga peningkatan curah hujan pada wilayah-wilayah tersebut masih berpotensi terjadi."
Cuaca ekstrem pun terpantau setidaknya pada periode 24 hingga 29 Februari di DKI Jakarta (Kelapa Gading). Peningkatan Curah Hujan terpantau sejak 27 Februari.
Curah hujan kategori ekstrem, contohnya, terjadi di Kelapa Gading (157,4 mm/hari) pada 28 Februari, dengan hujan kategori sangat lebat terjadi di Tanjung Priok, Pulo Gading, dan Sunter Timur di hari yang sama.
Pada periode yang sama, hujan dengan intensitas sangat lebat terjadi di Kalimantan Tengah (Barito Utara), Sulawesi Tenggara (Kendari), dan Papua Tengah (Timika).
BMKG mengungkapkan kondisi cuaca ekstrem tersebut masih berpotensi setidaknya hingga 8 Maret. Pemicunya antara lain:
Pertama, fenomena atmosfer Madden Jullian Oscillation (MJO) yang saat ini memasuki fase 3 (Samudra Hindia bagian timur). Ia diprediksi akan memasuki wilayah Indonesia dimulai dari bagian barat dan bergerak ke timur.
Kedua, aktivitas gelombang Rossby Ekuatorial di sebagian wilayah Indonesia.
Ketiga, terbentuknya pola perlambatan, pertemuan, dan belokan angin yang terbentuk di sebagian wilayah Indonesia.
"Kondisi tersebut mampu meningkatkan potensi hujan dengan intensitas SEDANG-LEBAT yang disertai kilat/angin kencang di wilayah Indonesia untuk periode 1-8 Maret 2024," kata BMKG dalam siaran persnya.
Pada periode itu, beberapa provinsi yang rajin masuk daerah hujan adalah Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Beda dengan BMKG, ahli klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin melihat fenomena ini sebagai "perpanjangan musim hujan."
Pemicunya, kata dia, bukan gelombang atmosfer atau faktor global.
"Hujan persisten yg turun dg intensitas sedang bahkan ekstrem di Jawa tidak dipengaruhi oleh aktivitas gelombang atmosfer karena terbukti selama Februari tidak ada bukti penjalaran kelembapan dari arah timur maupun barat menuju Jawa," ujarnya di Twitter, kemarin.
"Hujan juga tidak terbentuk karena konvergensi angin skala luas yg umumnya dibentuk dari garis ITCZ atau daerah konvergensi antar-tropis (kumpulan awan hujan di ekuator). Artinya tidak ada faktor global dan remote forcing yg berperan signifikan dlm pembentukan hujan," urai dia.
Erma pun menuding cuaca ekstrem ini merupakan ulah memanasnua suhu permukaan laut di Samudera Hindia dan Laut Jawa.
"Penyebab hujan adalah forcing local yg berasal dari memanasnya suhu permukaan laut baik di Laut Jawa maupun Samudra Hindia selatan Jawa. Pemanasan suhu permukaan laut berperan penting dalam menciptakan "Oceanic Convention System" yg massif dan akseleratif," tuturnya.
Hal ini diperparah dengan penguatan angin dari utara yang menggeser awan hujan di laut bergegas ke daratan.
"Dalam kondisi angin dari utara yang mengalami penguatan, sistem konveksi yg massif dan terjadi meluas di laut dapat dg cepat masuk ke darat dan bergabung dg konveksi di atas darat efek orogragfis. Inilah yg membuat hujan jadi meluas bahkan ekstrem," tandasnya.
(tim/arh)