Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap fenomena hujan es yang sempat melanda Sidoarjo, Jawa Timur, dan sekitarnya terkait dengan posisi awan hujan jenis cumulonimbus (CB) yang amat tinggi.
"Sore ini sekitar jam 3 sore terjadi fenomena hujan es di sekitar Sukodono-Buduran-Candi-Sidoarjo Kota," kata akun Instagram BMKG, kemarin.
Dalam keterangan BMKG Juanda, Surabaya, fenomena ini dipicu oleh awan hujan yang posisinya amat tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Berdasarkan analisa radar BMKG Juanda terpantau ketinggian awan CB atau cumulonimbus saat kejadian hujan es mencapai lebih dari 8 km. Awan CB yang menjulang tinggi ini memungkinkan terbentuknya kristal-kristal es di puncak awan yang dapat turun menjadi hujan es," menurut pernyataan itu.
BMKG menjelaskan fenomena hujan es ini cenderung terjadi pada masa pancaroba atau peralihan musim.
"Fenomena hujan es/hasil merupakan fenomena cuaca alamiah yang biasa terjadi."
"Kejadian hujan lebat/es disertai kilat/petir dan angin kencang berdurasi singkat lebih banyak terjadi pada masa transisi/pancaroba musim baik dari musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya," menurut keterangan tersebut.
Meski begitu, BMKG Juanda menyebut Jatim belum masuk masa pancaroba dan masih ada di puncak musim hujan.
"Sampai hari ini, wilayah Jawa Timur dan sekitarnya masih dalam fase puncak musim hujan. Fase peralihan atau pancaroba diprakirakan akan memasuki sebagian besar wilayah Jawa Timur pada Maret-April 2024," kata lembaga tersebut.
Terpisah, Pakar klimatologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Emilya Nurjani mengatakan hujan es alias hail merupakan hasil dari pembentukan awan CB yang tumbuh vertikal melebihi titik beku air.
Awan ini tumbuh di ketinggian sekitar 450 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga bisa mencapai 10.000 mdpl pada saat masa udara dalam kondisi tidak stabil.
"Awan bagian bawah (awan panas) mengandung uap air yang turun sebagai hujan yang kita kenal, sedangkan bagian atas awan (awan dingin) mengandung es," kata Emilya, dikutip dari situs resmi UGM.
"Bagian ini yang jatuh sebagai hail karena suhu udara di permukaan di Yogya dan Turi mendukung kristal es tetap membeku walau ukurannya lebih kecil," lanjutnya.
Dia menjelaskan di negara-negara empat musim hail yang jatuh berukuran besar pada saat musim dingin. Pasalnya, suhu udara di permukaan juga dingin yang membuat hail tidak mencair saat turun.
Penyebab utama fenomena hujan es ini lebih terkait dengan kelembapan tinggi, massa udara yang tidak stabil, serta suhu permukaan bumi yang mendukung.
Di samping itu, ada faktor perubahan suhu udara di troposfer (lapisan atmosfer paling rendah) bagian atas tempat terbentuknya awan-awan yang mengandung es.
"Jika suhu di permukaan bumi cukup rendah maka kristal es akan mencapai bumi dalam bentuk es atau hail, tetapi kalau suhu di permukaan bumi cukup panas maka kristal es akan sampai di permukaan bumi sebagai hujan yg kita kenal," kata Emilya.
BMKG mewanti-wanti butiran hujan es itu bukan buat diminum atau dikonsumsi lantaran mengandung polusi.
"Ojo dijupuk lho lur es'e gawe es teh jumbo, engko dadi varian es teh rasa polusi," ujar lembaga tersebut dalam unggahannya di Instagram.
Kepala Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Arie Dipareza Syafei menjelaskan hujan es mengandung emisi gas-gas polutan yang tak ramah buat kesehatan, seperti nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan karbon monoksida dari atmosfer.
"Dalam kasus hujan es, campuran air tersebut mengalami kristalisasi akibat pergerakan udara yang mempengaruhi suhu," jelasnya dikutip situs resmi ITS.
"Jangan mentang-mentang hujan es, dipakai untuk minum es teh," imbuh dia, yang merupakan peraih gelar doktoral di Universitas Hiroshima, Jepang, ini.