Lantaran gedung pusat komando (command center) peringatan dini terancam amblas imbas megathrust, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), berencana membangun dua gedung baru di Jakarta dan Denpasar.
Pada rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR pada Kamis (14/3), BMKG mengungkap gedung yang saat ini dipakai sebagai Gedung Operasional Peringatan Dini Tsunami (Indonesia Tsunami Early Warning System/InaTEWS) berdiri di atas tanah lunak.
Gedung tersebut merupakan bekas Bandara Kemayoran yang tak diperuntukkan buat peringatan dini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Usianya 40 tahun lebih. Dan yang berbahaya bukan usaianya yang tua, tetapi ternyata karena dulu dirancang tidak untuk peringatan dini, ternyata berdiri di atas tanah lunak, di bawah gedung itu sudah kami selidiki tanahnya itu berair dan sepertinya rawa," tutur Dwikorita.
"Kalau terjadi guncangan gempa dengan kekuatan seperti di Palu (M 7,4), itu bisa seperti [kasus amblasnya perumahan] Balaroa, Pak. Jadi gedung itu kesedot ke dalam," imbuhnya.
Alhasil, segenap peralatan canggih di dalam gedung itu pun tak akan bisa berfungsi saat gempa besar.
"Bagaimana kami, peralatan lengkap, komputer canggih, alat-alat sudah diganti, tapi gedungnya untuk menchat peringatan dini kesedot lebih dulu, Pak," ucap Dwikorita.
Menurutnya, kondisi ini baru diketahui belakangan. Alhasil, pihak BMKG mengusulkan pengambilan anggaran sekitar Rp235 miliar dari dana US$85 juta dari World Bank untuk membangun dua gedung; satu di Kemayoran, Jakarta, satunya di Denpasar, Bali.
Dwikorita menyebut yang lebih mahal dananya itu untuk pembangunan gedung di Jakarta karena menerapkan teknologi pencegah gedung amblas. Yakni, base isolator.
"Agar kalau ada guncangan gempa gedung tidak roboh, fondasi dibuat dalam, agar tidak tersedot kalau terjadi gempa," jelasnya.
Soal alasan mesti dua gedung, dia memaparkan bahwa sistem peringatan dini perlu sistem cadangan atau back up. Terlebih, Jakarta terancam megathrust yang berpotensi memicu gempa hingga Magnitudo 8,7.
"Kalau seandainya Jakarta lumpuh, kami kan memprediksi kalau ada megathrust, audzubillahimindzalik smoga tidak terjadi, Jakarta lumpuh," ujar Dwikorita.
"Itu command center meski gedungnya masih utuh, sistem komunikasi akan roboh, di luar BMKG, sistem lumpuh. BMKG tidak bisa mengeluarkan peringatan dini meski gedungnya tegak. Sehingga dalam kondisi lumpuh, diambil alih oleh Denpasar. Ada sistem continuity seperti itu," lanjutnya.
Megathrust merupakan daerah pertemuan antar-lempeng tektonik Bumi yang berpotensi memicu gempa kuat dan tsunami dahsyat yang bisa 'pecah' secara berulang dengan jeda hingga ratusan tahun.
Mengenai opsi lokasi lain yang lebih stabil tanahnya, BMKG mengungkapkan risiko pindah kantor pusat yang memakan biaya lebih mahal.
"Untuk pindah lokasi berarti kami harus memindahkan BMKG. Biayanya lebih mahal," kata mantan rektor UGM itu.
Sementara, opsi membangun gedung di Ibu Kota Nusantara (IKN) masih jauh dari konkret.
"Kami sudah merencanakan pindah ke IKN, koordinasi dengan Kementerian PUPR ternyata ke IKN belum siap."
"Karena gempa bisa terjadi sewaktu-waktu, tidak bisa menunggu. 'Sebentar IKN-nya belum siap, jangan gempa dulu', itu tidak bisa," seloroh Dwikorita.
(tim/arh)