Hujan badai disebut lebih potensial memicu tenggelamnya kota-kota pesisir ketimbang kenaikan permukaan air laut.
"Perubahan iklim telah berdampak nyata bagi kerusakan/tenggelamnya area pesisir bukan dg cara air naik 0,8 cm/th tapi oleh maraknya hujan badai yg menyebabkan kota-kota pesisir kolaps sehingga banjir besar pun melanda," ungkap Erma Yulihastin, Profesor Riset di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam unggahannya di Twitter, Selasa (19/3).
Cuaca ekstrem sebelumnya membuat beberapa kota pesisir di Jawa Tengah terendam banjir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lima kecamatan di Kabupaten Kudus, yakni Kecamatan Mejobo, Jati, Undaan, Jekulo dan Kaliwungu, masih terendam per Senin (18/3) sore. Bencana ini berdampak pada 13.586 Kepala Keluarga atau 39.272 jiwa.
Banjir di Jepara, Minggu (17/3), juga membuat 442 warga mengungsi.
Demak lebih dulu dilanda bah usai hujan lebat dan tanggul jebol sejak Rabu (13/3). Per Senin (18/3), 89 desa di 11 kecamatan di Demak masih terendam banjir dengan ketinggian 30–80 cm.
Erma menyebut banjir-banjir besar itu dipicu oleh hujan intensitas lebat imbas fenomena squall line.
"Lesson learned maraknya fenomena squall line di laut utara Jateng yg mendarat menuju Tanjung Jepara menunjukkan area terdampak badai ini membentang dari Pekalongan hingga Rembang. Hujan badai berhari-hari selama 10 hari tsb jelas berkontribusi pada jebolnya tanggul," tutur dia.
Menurut Laboratorium Badai Hebat (NSSL) NOAA, squall line, yang secara harfiah berarti garis badai, adalah sekelompok badai yang tersusun dalam satu garis, yang sering kali disertai dengan 'badai' angin kencang dan hujan lebat.
Squall line cenderung melintas dengan cepat berbentuk memanjang. Panjangnya bisa ratusan mil dan lebar hanya 10 atau 20 mil.
Erma pun menyarankan Pemerintah melakukan sejumlah langkah strategis merespons ancaman squall line ini. Yakni:
1. Proteksi infrastruktur pelindung badai
2. Perbaikan dan penguatan tanggul-tanggul sungai
3. Peningkatan prediksi cuaca
Para ahli sejauh ini masih berpandangan variatif soal pemicu prediksi tenggelamnya kota-kota pesisir.
![]() |
Menurut lembaga antariksa AS (NASA), berdasarkan pengukuran satelit, kenaikan permukaan air laut secara global sejak 1993 hingga Desember 2023 mencapai 103,8 mm (10,38 cm), atau 3,46 mm per tahun.
Pakar Geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas menyebut angka kenaikan permukaan air laut itu tak sebanding dengan penurunan muka tanah, termasuk di Jakarta.
Berdasarkan pengukuran via global positioning system (GPS), penurunan rata-rata di DKI mencapai 10 cm per tahun.
"Saya sudah 20 tahun mengukur di Jakarta, di titik koordinat yang sama, ternyata tingginya berubah," kata Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB itu, beberapa waktu lalu.
"Ternyata penurunan [tanah]-nya ada yang sampai 10 cm per tahun, bahkan 20 cm per tahun. Dalam 10 tahun udah 1 meter. Kemudian kalau 100 tahun akan ada penurunan 10 meter. Inilah yang paling signifikan sebagai penyebab banjir rob. Karena kan tanah turun terus, lama-lama di bawah laut," jelas Heri.
(tim/arh)