Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tengah mengembangkan produk biosensor yang bisa mendeteksi virus.
Robeth Viktoria Manurung, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Elektronika (PRE) BRIN, menjelaskan bahwa nantinya perangkat biosensor ini akan bersifat portabel dan terkoneksi dengan smartphone agar dapat digunakan secara lebih efisien.
"Harapannya, perangkat ini akan digunakan sebagai peralatan portabel yang mampu dihubungkan dengan smartphone," kata Robeth melansir laman resmi BRIN, Jumat (29/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Robeth mengatakan saat ini pihaknya tengah fokus pada penelitian biosensor berbasis elektrokimia yang memanfaatkan komposit graphene/ZnO nanoparticles.
Komposit tersebut nantinya digunakan untuk mendeteksi kadar biomarker human SAA, baik untuk treatment kanker paru maupun mendeteksi tingkat keparahan pasien penderita Covid-19.
Pengembangan biosensor berbasis elektrokimia ini juga dilakukan untuk mendeteksi virus dengue (demam berdarah), namun dengan komponen yang berbeda yakni menggunakan logam transisi metal oksida berbahan nikel-kobalt.
Spesifikasi teknis dari biosensor yang sedang dikembangkan ini akan menggunakan sampel berupa serum darah atau saliva pasien dengan rentang pengukuran antara 10 hingga 200 miligram per liter.
Lihat Juga : |
Biosensor ini merupakan perangkat analisis yang menggabungkan komponen hayati dengan pendeteksi fisikokimia untuk mendeteksi zat kimia tertentu menghasilkan luaran yang terukur.
Kelebihan dari perangkat ini antara lain bersifat portabel, mudah dioperasikan, dan tidak memerlukan backup supply. Biosensor yang dikembangkan juga dapat terintegrasi dengan IoT & machine learning.
Namun menurut Robeth, perangkat biosensor yang dikembangkan saat ini masih memiliki kelemahan, yakni bergantung pada bahan baku yang harus diimpor.
"Bahan baku untuk pembuatan biosensor sebagian besar merupakan produk impor. Hal ini berimbas kepada biaya produksi yang mahal," jelas Robeth.
Oleh karena itu, perlu kolaborasi interdisipliner antara ilmuwan dan insinyur atau penggiat dari berbagai bidang, seperti biologi, kimia, ilmu material, dan elektronik.
Selain itu, tantangan lainnya adalah bagaimana mencapai sensitivitas dan selektivitas yang tinggi dengan tetap menjaga stabilitas dan reproduktivitas.
Ia menjelaskan sensitivitas artinya memastikan biosensor dapat mendeteksi analit target konsentrasi rendah secara andal.
"Faktor-faktor seperti noise, intervensi dari senyawa lain, dan efisiensi transduksi sinyal dapat mempengaruhi sensitivitas biosensor," ungkap dia.
Sedangkan selektivitas penting bagi biosensor untuk dapat membedakan analit target dari molekul lain yang ada dalam sampel.
Menurutnya untuk mencapai selektivitas tinggi dapat menjadi tantangan, terutama dalam sampel biologis yang kompleks, "Di mana, mungkin terdapat banyak zat yang mengganggu."
Kemudian, perlu untuk menjaga stabilitas komponen biosensor dari waktu ke waktu. Hal ini penting untuk penggunaan jangka panjang dan hasil yang dapat diandalkan.
"Faktor-faktor seperti degradasi unsur biologis, hilangnya aktivitas enzim, atau perubahan sifat fisik bahan sensor dapat memengaruhi stabilitas biosensor," jelas Robeth.
Sedangkan, reproduktivitas adalah memastikan agar biosensor dapat memberikan hasil konsisten dan dapat direproduksi pada sampel yang berbeda.
Selain penelitian biosensor untuk deteksi virus, Robeth dan koleganya di PRE juga telah menghasilkan purwarupa sensor untuk mendeteksi kandungan unsur hara tanah dan pencemaran lingkungan.
"Hasil-hasil tersebut sudah dipublikasikan di jurnal global bereputasi menengah atau tinggi," ujar Robeth.
(rni/dmi)