Sebuah penelitian terbaru mengungkap spesies ular yang jago 'akting' berpura-pura mati dengan mengubah penampilannya seperti bangkai serta mengeluarkan darah dari mulutnya untuk mengelabui pemangsa.
Studi tersebut terangkum dalam sebuah makalah yang terbit di jurnal Biology Letters pada 8 Mei 2024.
Para peneliti mengungkap strategi pura-pura mati merupakan hal yang lumrah di dunia hewan karena merupakan mekanisme pertahanan terhadap predator. Beberapa hewan yang melakukan hal tersebut di antaranya serangga, ikan, amfibi, reptil, burung, dan mamalia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, bagaimana dan sejauh mana strategi ini berhasil masih belum jelas.
"Ada beberapa teori yang saling bertentangan mengenai asal-usul pura-pura mati," ujar Vukašin Bjelica, seorang rekan peneliti di Universitas Beograd, Serbia, yang juga merupakan salah satu penulis studi ini, mengutip CNN, Jumat (17/5).
"Ada yang mengatakan bahwa itu adalah respons yang dilakukan secara sadar, ada juga yang mengatakan bahwa itu bukan respons sadar. Salah satu teori mengatakan bahwa itu adalah respons pertahanan yang 'paling primitif', mirip dengan membeku dalam situasi stres yang tinggi," imbuh dia.
Para peneliti dari University of Belgrade mengatakan berpura-pura mati dan mengekspos bagian tubuh yang rentan terhadap pemangsa adalah hal berisiko.
Oleh karena itu, mereka berhipotesis bahwa semakin dramatis pertunjukannya, semakin sedikit waktu yang dihabiskan ular untuk berada dalam bahaya.
Untuk mempelajarinya, para peneliti fokus pada populasi ular dadu di Golem Grad, di sebuah danau di Makedonia Utara. Di sana, mereka meneliti 263 ular dadu dan mencoba membuat simulasi predator memangsa ular dadu.
Mereka mengamati beberapa ular berpura-pura mati dengan membiarkan mulutnya terbuka lebar, beberapa melumuri diri mereka dengan kotoran dan yang lainnya mengeluarkan darah dari mulut mereka juga.
Penelitian ini menemukan 28 ular yang mengeluarkan darah dari mulutnya menghabiskan waktu rata-rata dua detik lebih sedikit untuk berpura-pura mati.
Beberapa ular yang tidak mengeluarkan darah dari mulutnya menghabiskan waktu yang lebih singkat untuk berpura-pura mati. Ini kemungkinan karena faktor lain seperti suhu, jenis kelamin, atau ukuran ular.
Secara keseluruhan, ular-ular tersebut menghabiskan waktu antara enam hingga 24 detik untuk mati.
Pendarahan dari mulut adalah perilaku yang relatif jarang terjadi dan hanya terjadi pada 28 ular yang diuji, sementara pengolesan terjadi pada 124 kasus.
Namun begitu, tidak semua ular yang diuji berpura-pura mati.
Ular-ular remaja yang ditangkap berpura-pura mati dalam waktu yang jauh lebih singkat dan mengeluarkan darah dari mulut lebih sedikit, dan perilaku ini sama sekali tidak ditemukan pada ular-ular yang baru menetas dari spesies yang sama.
Bjelica mengatakan perilaku antipredator tergantung pada banyak hal, seperti jenis kelamin individu, suhu tubuh, ukuran, usia, keberadaan makanan di dalam usus, keberadaan telur pada betina, pengalaman sebelumnya dengan predator, dan luka yang sudah ada sebelumnya.
"Masih belum jelas bagaimana setiap individu 'menyesuaikan' respons antipredator mereka dan pengamatan kami sangat terbatas karena sebagian besar berasal dari interaksi dengan peneliti manusia dan bukan pengamatan terhadap pertemuan nyata dengan predator alami," tambahnya.
Mengolesi diri dengan kotoran membuat ular kurang menarik bagi pemangsanya, yang menurut para peneliti menjelaskan mengapa ular yang melakukan hal ini sebelum mati kemudian menghabiskan lebih sedikit waktu dalam situasi ini.
Meskipun ular tidak menyemprotkan darah secara langsung ke pemangsanya, seperti yang dilakukan kadal bertanduk, pendarahan dari mulut menandakan kematian yang nyata bagi pemangsa.
Para peneliti percaya bahwa pendarahan tersebut disebabkan oleh peningkatan tekanan darah, yang dipicu oleh tingginya tingkat hormon stres, kata Bjelica.
Hasil penelitian ini perlu direplikasi pada spesies dan ekosistem lain, kata para peneliti.
(tim/dmi)