Jakarta, CNN Indonesia --
Citra Jepang yang futuristik ternyata tidak tercermin dalam beberapa bagian kehidupan di negara tersebut. Negara ini cenderung tertinggal dibandingkan dengan negara-negara maju lain dalam adopsi teknologi digital.
Pada bulan Januari, Badan Kepolisian Nasional Jepang mengungkapkan bahwa kelompok peretas China, MirrorFace, telah menargetkan badan-badan dan perusahaan-perusahaan pemerintah Jepang sejak 2019.
Serangan siber ini menghantam 210 entitas, termasuk institusi dan individu, dan bertujuan untuk mencuri data yang terkait dengan keamanan dan teknologi canggih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Serangan siber juga telah mengganggu kehidupan sehari-hari, seperti yang terjadi pada bulan Desember lalu yang menunda lebih dari 70 penerbangan Japan Airlines. Serangan siber lainnya pada 2023 bahkan menghentikan operasi di pelabuhan terbesar di negara itu selama lebih dari 48 jam.
"Pemerintah sekarang mengatakan bahwa serangan siber menghantam Jepang setiap 14 atau 13 detik sekali," kata Motohiro Tsuchiya, seorang profesor di Sekolah Pascasarjana Media dan Tata Kelola Universitas Keio, dikutip dari CNA, Kamis (17/7).
Hampir setiap negara menghadapi ancaman keamanan siber, dan Jepang sendiri rentan diserang karena transformasi digitalnya berjalan lambat. Jepang berada di peringkat ke-31 dalam daya saing digital global tahun lalu, tertinggal dari sebagian besar negara maju.
Kepala teknologi Nihon Cyber Defence Toshio Nawa mengatakan organisasi domestik Jepang "belum cukup bergantung pada teknologi informasi." Alat-alat digital yang mutakhir masih kurang digunakan.
Dalam sebuah laporan pada Januari disebutkan bahwa 77 persen sekolah masih menggunakan mesin faks untuk komunikasi, sementara itu 40 persen orang Jepang dalam survei tahun 2023 mengatakan bahwa mereka juga menggunakannya.
Selain itu, baru bulan lalu pemerintah Jepang menghapus penggunaan disket dalam pengiriman dokumen, 14 tahun setelah disket terakhir diproduksi.
Sistem-sistem jadul yang menopang sebagian besar kehidupan sehari-hari di Jepang mungkin mengejutkan bagi para turis yang tertarik dengan citra futuristik negara ini.
"[Pertama kali] banyak teman saya dari luar negeri mengunjungi Jepang, mereka sangat terkesan," kata Kotaro Tamura, seorang asisten profesor di Lee Kuan Yew School of Public Policy.
Hal-hal baru seperti toilet yang memiliki fungsi otomatis dan memutar musik, sushi dengan ban berjalan serta humanoid di bagian resepsionis perusahaan dan pusat permainan membuat orang merasa seperti orang Jepang hidup di masa depan.
"Kami pandai dalam hal keterampilan, membangun perangkat keras. Namun, kami tidak terlalu baik dalam hal yang tidak bisa kami sentuh," katanya menambahkan.
Alasan ketertinggalan Jepang di halaman berikutnya...
Setelah pandemi Jepang baru dipaksa untuk menghadapi kekurangan digitalnya. Menurut sebuah studi pada 2019, hanya 7,5 persen dari hampir 56.000 prosedur administratif yang dapat dilakukan sepenuhnya secara online.
Meski pekerjaan jarak jauh menekankan kebutuhan untuk memindahkan proses pemerintahan dan bisnis secara online, transisi di negara ini tidak berjalan mulus.
Salah satu simbol lambatnya digitalisasi Jepang adalah "hanko", stempel pribadi yang digunakan sebagai pengganti tanda tangan untuk banyak transaksi di bidang perbankan, real estat, dan dokumen perusahaan.
Selama pandemi, hampir 60 persen orang yang bekerja dari rumah harus kembali ke kantor setidaknya setiap minggu, terutama untuk mengurus dokumen dan stempel dokumen.
Meskipun pemerintah telah menghapus persyaratan "hanko" dari sekitar 14.700 prosedur pada 2020, persyaratan tersebut tetap berlaku untuk 83 prosedur, seperti pendaftaran kendaraan dan perusahaan.
Para ahli mengatakan bahwa keengganan untuk melakukan modernisasi adalah bagian dari budaya. Orang Jepang memiliki prinsip yang cukup kuat dalam hal "menghindari ketidakpastian", yang berarti mereka cenderung memilih sistem yang stabil dan telah teruji daripada sistem yang baru.
"Sepertinya ada budaya tradisional di Jepang untuk mempertahankan sebuah sistem untuk waktu yang lama. Dalam istilah IT, hal ini disebut sistem warisan," kata Nawa.
Masyarakat Jepang yang semakin menua juga berperan dalam lambatnya digitalisasi. Hampir tiga dari 10 orang berusia di atas 65 tahun, dan sebuah studi pada 2021 menemukan bahwa hampir sepertiga orang Jepang yang berusia 50 hingga 79 tahun tidak antusias dengan digitalisasi.
Namun, kaum muda juga tidak menjadi pendorong perubahan.
"Banyak anak muda yang memilih opsi yang lebih mudah, [dengan] mengikuti budaya Jepang lawas dan cara-cara lama," tutur Nawa.
Sebagai contoh, seorang penerjemah bernama Yuriko mencoba memperbarui alamatnya melalui portal My Number milik pemerintah, dan ia merasa kewalahan.
"Jika saya mencari dan mengunduh formulir sendiri, bagaimana jika saya salah mengisi formulir?" katanya.
"Datang langsung ke kantor pemerintahan masih merupakan pilihan tercepat," lanjutnya.
Pada kalangan usaha kecil dan menengah (UKM) yang mencakup lebih dari 99 persen perusahaan di Jepang, laju digitalisasi juga bergerak sangat pelan.
Menurut Japan Institute for Promotion of Digital Economy and Community, hampir seperempat perusahaan dengan jumlah karyawan di bawah 300 orang mengatakan bahwa mereka belum mulai mendigitalkan proses kerja.
Data Badan Promosi Teknologi Informasi Jepang menyatakan dalam buku putih tahun 2023 bahwa enam dari 10 UKM dengan kurang dari 100 karyawan tidak memiliki tim yang didedikasikan untuk transformasi digital.
Selain itu, sekitar setengah dari perusahaan Jepang tidak membahas strategi keamanan siber di tingkat eksekutif. Banyak perusahaan memprioritaskan operasi sehari-hari di atas risiko IT.
"Hal ini dapat dikaitkan dengan fakta bahwa (manajemen) tidak merasakan adanya krisis mengenai hal ini, atau mereka tidak memahami IT," ujar Nawa.