"Jadi selain tools GenAI-nya yang dilengkapi dengan guardrail nilai-nilai Indonesia, anak juga perlu diberi basic character yang kuat seperti bertanggung jawab, disiplin, empati, jujur, dan seterusnya," katanya.
Lebih lanjut, kata Ayu, peran orang tua dan guru menjadi sangat penting dalam membimbing anak untuk merespons teknologi baru ini. Dalam hal ini, literasi AI menjadi sebuah urgensi yang harus disebarkan ke guru-guru dan orang tua.
"Pemerintah perlu menggiatkan literasi AI ke sebanyak-banyaknya masyarakat Indonesia terutama untuk Etika AI dan juga melakukan pembangunan GenAI dalam negeri yang sesuai dengan nilai-nilai Indonesia," tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk GenAI luar negeri, perlu dipastikan bahwa GenAI buatan luar negeri ini sudah memenuhi syarat responsible AI," tuturnya.
Pemerintah boleh saja mengklaim aturan yang ada saat ini sudah cukup melindungi anak dari dampak bahaya AI. Namun, secara umum, ternyata regulasi yang ada dinilai belum cukup.
Guru Besar Ilmu Kecerdasan Buatan (AI) IPB University Yeni Herdiyeni menilai Indonesia perlu segera menyusun Undang-undang khusus yang mengatur pengembangan dan pemanfaatan AI.
Yeni menjelaskan UU mengenai AI saat ini diperlukan menyusul pesatnya perkembangan teknologi ini serta berbagai risiko yang menyertainya, seperti disinformasi, kesalahan algoritma, hingga potensi ancaman terhadap ketahanan nasional.
"Undang-undang itu perlu, karena ini produk teknologi yang bisa berdampak positif dan negatif," ujar Yeni, melansir laman resmi IPB, Sabtu (21/6).
Menurutnya jika regulasi mengenai AI ditunda, Indonesia akan semakin tertinggal dan hanya menjadi pasar konsumen teknologi AI dari luar.
"Kalau dilihat dari sisi kebijakan pemerintah saat ini mulai dari pendidikan dasar dan menengah akan diberi materi tentang AI. Perlu kehati-hatian dalam merumuskan kebijakan dan arah pendidikan," ujarnya.
Yeni mengatakan saat ini yang diperlukan oleh generasi muda adalah mengembangkan pemikiran kritis dan mengembangkan kemampuan kognitif yang baik. Menurutnya jangan sampai generasi muda Indonesia hanya menjadi pengguna teknologi AI tanpa pengembangan kognitif yang kuat dalam berpikir.
Ia juga menyoroti bahwa ketiadaan undang-undang AI dapat membuka celah bagi penyalahgunaan data.
"Kalau tidak ada undang-undangnya, akan sulit jika ada pihak yang mengumpulkan data tanpa persetujuan pemiliknya dan menggunakannya untuk mengembangkan model AI. Mau dijerat dengan apa? Ini beda dengan UU ITE. UU AI memastikan bahwa inovasi yang dikembangkan harus bertanggung jawab," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Laksono menyebut aturan khusus yang mengawal teknologi kecerdasan buatan (AI) adalah sebuah urgensi strategis. Potensi dampak yang luas membuat diperlukannya kerangka hukum yang jelas dan adaptif.
"Perkembangan teknologi AI memang sangat pesat dan sudah mulai menyentuh hampir semua aspek kehidupan, dari sektor ekonomi, pertahanan, hingga kehidupan sosial masyarakat. Dalam konteks ini, Komisi I DPR RI memandang regulasi khusus untuk AI sebagai sebuah urgensi strategis," ujar Dave saat dihubungi awal Juli lalu.
"Mengingat potensi dampak yang sangat luas, baik positif maupun negatif, maka kebutuhan akan kerangka hukum yang jelas dan adaptif menjadi hal yang mendesak," tambahnya.
Dave mengatakan Indonesia agak terlambat dalam menghadirkan aturan semacam itu jika dibandingkan dengan tren global. Ia mencontohkan beberapa negara telah memiliki aturan terkait AI, bahkan negara tetangga sudah mulai menyusun aturan serupa.
"Negara-negara seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, hingga tetangga kita di ASEAN pun mulai bergerak cepat menyusun kebijakan terkait AI. Indonesia tidak boleh tertinggal, baik dari sisi kesiapan hukum maupun kesiapan institusional," katanya.
![]() |