Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut penanganan kebakaran hutan dan lahan saat musim kemarau tak bisa hanya mengandalkan operasi modifikasi cuaca (OMC).
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebut OMC tidak efektif saat pertumbuhan awan hujan rendah. Hal ini karena tidak ada awan potensial untuk disemai.
"Oleh karena itu, strategi pengendalian karhutla tidak boleh terpaku pada pendekatan tunggal dan harus berlapis," kata Dwikorita dalam keterangan, Senin (28/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, perlu alternatif melalui peningkatan patroli darat, penjagaan ketat di titik-titik rawan, serta penguatan strategi pencegahan lainnya.
Dwikorita juga mengatakan ada keterkaitan yang sangat kuat antara curah hujan dengan tingkat kemudahan lahan terbakar.
Analisis terhadap data curah hujan dasarian serta indeks Fine Fuel Moisture Code (FFMC) menunjukkan bahwa semakin rendah curah hujan, maka tingkat kekeringan lapisan bahan bakar ringan di permukaan tanah semakin tinggi.
Ini menyebabkan risiko lahan mudah terbakar meningkat secara signifikan.
"Oleh karena itu, pemantauan curah hujan tidak hanya penting untuk memperkirakan potensi hujan, tetapi juga menjadi indikator utama dalam menentukan fase-fase rawan kebakaran hutan dan lahan," kata Dwikorita.
Menurut Dwikorita, keberhasilan OMC sangat bergantung pada faktor cuaca mikro dan makro, terutama karena pertumbuhan awan hujan ternyata sangat fluktuatif.
Pertumbuhan awan ini, katanya, dipengaruhi oleh dinamika atmosfer seperti aktivitas gelombang Kelvin dan Rossby Ekuator, suhu muka laut yang hangat, kelembaban udara, hingga labilitas atmosfer di skala lokal.
Semua faktor tersebut menentukan seberapa besar potensi awan hujan bisa tumbuh di wilayah-wilayah prioritas seperti Sumatera dan Kalimantan.
Ketika potensi pertumbuhan awan hujan rendah, OMC tidak dapat dijalankan, walaupun risiko karhutla sangat tinggi. Dalam kondisi seperti itu, Dwikorita mengimbau ada intervensi non-OMC seperti patroli intensif, penjagaan wilayah, dan tindakan preventif lainnya.
Berdasarkan catatan BMKG, periode akhir Juli hingga awal Agustus 2025 merupakan fase kritis yang perlu mendapatkan perhatian ekstra, khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Prediksi cuaca menunjukkan potensi pertumbuhan awan di Sumatera berada pada kategori tinggi antara 29-31 Juli, menurun sementara pada awal Agustus, dan kembali meningkat pada 3-4 Agustus.
Di Kalimantan, pertumbuhan awan masih tergolong sedang hingga 30 Juli, tapi mulai meningkat pada 31 Juli hingga puncaknya tanggal 3-4 Agustus.
Saat potensi pertumbuhan awan hujan rendah dan Fire Danger Rating System (FDRS) tinggi, seluruh pemangku kepentingan di daerah disebut harus mengaktifkan sistem kewaspadaan darat, termasuk pemetaan wilayah rentan, mobilisasi sumber daya pengendalian, serta pencegahan kebakaran sejak dini.
"Untuk mendukung upaya mitigasi, BMKG bersama BNPB, TNI AU, yang didukung Pemerintah Provinsi, telah melaksanakan OMC di sejumlah provinsi prioritas rawan karhutla, seperti Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi, dan Kalimantan Barat. Rata-rata efektivitas penyemaian hujan di wilayah-wilayah tersebut mencapai tingkat keberhasilan 85 hingga 100 persen, dengan akumulasi curah hujan mencapai lebih dari 586 juta meter kubik," kata Dwikorita lagi.
(vws/vws)