Kenapa Masih Hujan di Bulan Agustus? Ini Penjelasan BMKG

CNN Indonesia
Rabu, 06 Agu 2025 10:07 WIB
Ilustrasi. BMKG mengungkap bahwa hujan di musim kemarau ini masih dalam batas normal secara klimatologis, dan dikenal sebagai kemarau basah. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Hujan masih mengguyur sebagian wilayah Indonesia, termasuk di Jakarta dan sekitarnya, meski saat ini sudah memasuki bulan Agustus yang seharusnya masuk fase puncak musim kemarau. Apa penyebabnya?

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat dalam tiga hari terakhir, hujan lebat hingga esktrem terjadi di Maluku (205.3 mm/hari), Kalimantan Barat (89.5 mm/hari), Jawa Tengah (83 mm/hari), dan Jabodetabek (121.8 mm/hari).

Guswanto, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, mengungkap bahwa hujan di musim kemarau ini masih dalam batas normal secara klimatologis, dan dikenal sebagai kemarau basah.

"Ini bukan anomali ekstrem, melainkan hasil dari dinamika atmosfer yang kompleks," ungkap Guswanto saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (6/8).

Ia menjelaskan salah satu penyebab hujan di musim kemarau adalah Indian Ocean Dipole (IOD), atau fenomena iklim yang terjadi di Samudra Hindia, berada pada level negatif (-0,6) dan suhu laut yang hangat menyebabkan suplai uap air meningkat. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa hujan yang turun selama musim kemarau ini tidak dipengaruhi fenomena La Nina.

Selain itu, hujan yang terjadi di sejumlah wilayah pada awal Agustus ini disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor atmosfer.

Pertama, gelombang Madden-Julian Oscillation (MJO) yang aktif di wilayah Sumatera hingga Jawa bagian barat dan meningkatkan potensi pembentukan awan hujan.

Kedua, Bibit Siklon Tropis 90S di Samudra Hindia barat daya Bengkulu memicu konvergensi angin di sepanjang Pulau Jawa, memperkuat pertumbuhan awan hujan.

Ketiga, Suhu muka laut (SST) yang hangat di perairan Indonesia meningkatkan kandungan uap air di atmosfer.

Keempat, gelombang atmosfer lain seperti Kelvin, Rossby Ekuator, dan Low-Frequency juga sedang aktif dan memperkuat proses konvektif.

Sebelumnya, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati juga menyebut hasil prediksi curah hujan bulanan menunjukkan anomali curah hujan yang sudah terjadi sejak Mei 2025 akan terus berlangsung, dengan kondisi curah hujan di atas normal terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia hingga Oktober 2025.

"Melemahnya Monsun Australia yang berasosiasi dengan musim kemarau turut menyebabkan suhu muka laut di selatan Indonesia tetap hangat dan hal ini berkontribusi terhadap terjadinya anomali curah hujan tersebut," kata Dwikorita dalam konferensi pers daring awal Juli lalu.

Kemudian, gelombang Kelvin aktif yang terpantau melintas di pesisir utara Jawa, disertai perlambatan dan belokan angin di Jawa bagian barat dan selatan turut memicu penumpukan massa udara.

Selain itu, konvergensi angin dan labilitas atmosfer lokal juga terpantau kuat sehingga mempercepat pertumbuhan awan hujan.

Berdasarkan iklim global, BMKG dan beberapa pusat iklim dunia memprediksi ENSO (suhu muka air laut di Samudra Pasifik) dan IOD (suhu muka air laut di Samudra Hindia) akan tetap berada di fase netral pada semester kedua tahun 2025.

Artinya, dapat dipastikan bahwa sebagian wilayah Indonesia akan mengalami curah hujan di atas normal dari yang seharusnya terjadi di musim kemarau atau disebut juga dengan kemarau basah.

Deputi Bidang Klimatologi Ardhasena Sopaheluwakan mengonfirmasi kondisi cuaca yang terjadi saat ini masih sesuai dengan prakiraan yang dikeluarkan BMKG pada Juli lalu.

"Betul, masih sesuai prediksi," katanya.

Pakar Klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin pada Juli lalu juga memprediksi curah hujan akan terus tinggi hingga Agustus. Menurutnya, curah hujan pada Agustus bahkan akan lebih tinggi dari Juli.

"Nanti Agustus itu 2 kali lipat hujan yang sekarang. Terjadi di dasarian ketiga. Dasarian ketiga itu berarti tanggal 21 sampai akhir Agustus," katanya dalam sebuah unggahan di media sosial X, Senin (7/7).

Menurutnya, cuaca buruk pada periode Agustus kemungkinan sifatnya lebih merata. Ia mengatakan vorteks akan lebih dekat dengan wilayah Indonesia dan menimbulkan peningkatan intensitas dua kali lipat dibandingkan saat ini.

"Oleh karena itu pemerintah agar bersiap dan memitigasi banjir meluas di Jabodetabek, yang berpotensi menimbulkan kerugian Rp2-10 triliun jika terjadi banjir selama seminggu. Masyarakat agar waspada, terutama yang tinggal di sekitar DAS," tuturnya.

(lom/dmi)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK